Archive for the Esai Category

500 – ILMU-ILMU MURNI

Posted in Esai on April 6, 2024 by badaruddinamir

Matematika – Astronomi – Fisika – Kimia -Ilmu Pengetahuan tentang Bumi &Dunia Lain – Paleontologi, – Ilmu-Ilmu tentang Kehidupan – Ilmu-Ilmu tentang Tumbuh-Tumbuhan – Ilmu-Ilmu tentang Hewan :

Klik DI SINI untuk kembali ke laman RUANG UNDUH.

KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SUMBER KREATIVITAS (Sebuah Catatan Awal)

Posted in Esai on Maret 15, 2024 by badaruddinamir

Jika tak ada aral, Insya Allah pada 28 Januari 2024 akan diadakan Pertemuan Penulis Ajattappareng (PPA) 2024. PPA ini -demikian singkatannya- memang baru pertama kali dilaksanakan. Digagas oleh Rumah Belajar Cinta Damai (RBCD) dan disponsori oleh Balai Bahasa Sulawesi Selatan dan beberapa komunitas yang ada di wilayah “Ajattappareng”. Pertemuan penulis ini juga akan menghadirkan penulis hebat yang pernah maupun yang sedang beraktivitas di  Sulsel seperti Andi Makmur Makka, S. Siansari Ecip, Ganjar Harimansyah (Kepala Balai Bahasa Sulsel), Aslan Abidin, Tri Astoto Kodarie, dan RBCD, Asniar Khumas. Tema sentral yang diangkat oleh PPA 2024  yang akan dilaksanakan di Balai Ainun-Habibie, Parepare ini adalah “Kearifan lokal dan kreativitas”.

Secara simplistik sebenarnya, tema ini ingin mengatakan: kearifan lokal (itu) adalah sumber kreativitas. Lalu apakah kearifan lokal dan apa pula kreativitas yang dimaksud itu? Kearifan lokal adalah warisan budaya yang terkandung dalam tradisi, kepercayaan, dan nilai-nilai masyarakat setempat.  Sebuah argumen yang  dapat menjadi rujukan mengenai kearifan lokal dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat dari http://www.djkn.kemenkeu.go.id adalah sebagai berikut:  “Kearifan Lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.” (Abd. Choliq, dalam “Memaknai Kembali Kearifan Lokal Dalam Kehidupan Sehari-hari” ,

Dalam terminologi asing kearifan lokal kadangkala disebut sebagai “local wisdom” atau “local Knowledge” atau “local Genius”, meski  terminologi ini masing-masing memiliki konteks tertentu. Inti dari pada Kearifan Lokal ini adalah “nilai” dan “moralitas”. Ke dua unsur transendental ini harus ada dalam Kearifan Lokal. Jika “nilai” dan “moralitas” tak dapat ditemukan dalam jiwa sebuah ungkapan tradisi, atau dalam kepercayaan yang dianut oleh masyarakat yang menjadi warisan budaya, maka tak dapatlah dikatakan bahwa warisan budaya tersebut sebagai kearifan lokal.

Pada era globalisasi dan modernisasi (yang bermuatan teknologi tentunya) dan mengarah pada perubahan sosial, terjadinya  transformasi total dari kehidupan tradisional ke arah pola-pola kehidupan fragmatis, ekonomis dan politis, seringkali membuat frasa “kearifan lokal” ini terabaikan atau terpinggirkan. Dan arus globalisasi dan moderinisai, yang memang berhembus dari  dunia barat itu, memjadi “budaya asing” bagi masyarakat kita. Maka dalam kerangka pembicaraan “kearifan lokal” di era globalisasi dan modernisasi ini mau tak mau, akhirnya menjadi dikotomis. Memang dialektika yang terjadi tidak lagi “Timur versus Barat” sebagaimana dalam Polemik Kebudayaan yang terjadi hampir seabad lalu, tetapi dialektika yang terjadi sekarang adalah dikotomi antara “Tradisi versus Modern”; “Tradisional versus Modernitas”; “Tradisionalisasi versus Modernisasi”; dan “Tradisionalisme versus Modernisme”. 

Di abad 21 sekarang ini -memasuki  kulminasi kemajuan teknologi,  pengembangan rekayasa teknologi digital dan Artificial Intelligence (AI) telah menguasai ruang-ruang budaya secara lebih leluasa dan mendalam setelah dirancang untuk membuat sistem komputer mampu meniru kemampuan intelektual manusia.  Akibatnya literasi budaya yang berkaitan dengan kearifan lokal pun tampak semakin stagnan.

Namun, sebenarnya, kearifan lokal memiliki potensi besar sebagai sumber kreativitas yang tak ternilai sepanjang manusia sebagai subjek dari kebudayaan mampu memanfaatkan potensi-potensi budaya lokal itu sebagai sumber energi untuk berkarya. Di sini kita akan coba  menjelajahi bagaimana “kearifan lokal” dapat menjadi pendorong kreativitas yang mampu menghasilkan inovasi dan memperkaya dunia seni, budaya, dan teknologi.

Pengembangan Kearifan Lokal

Kearifan lokal mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari seni tradisional, sistem pertanian lokal, hingga kebijakan pemerintah yang bersumber dari nilai-nilai luhur. Seiring  dengan perjalanan waktu, kearifan lokal sesungguhnya terus berkembang dan  beradaptasi  menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Meski demikian “nilai” dan “moralitas” sebagaimana yang disinggung sebagai  jiwa transenden budaya lokal akan mengalami pergeseran atau penyesuaian.  Apa yang dikatakan nilai “kegotong-royongan” dari kebudayaan lokal pada suatu masa misalnya, mungkin akan bertransformasi, mengalami pergeseran makna.  Sikap “gotong royong” sekarang, di masa modernitas akan menjadi sesuatu yang kreatif dan bernilai ekonomi dalam konteks literasi finansial. Jadi, yang terjadi sesungguhnya adalah “transformasi budaya”,  yaitu suatu bentuk perubahan yang secara perlahan akan diterima warga masyarakat hingga menjadi sebuah kebiasaan yang selanjutnya akan melekat dan akan digunakan sebagai kebiasaan secara berulang-ulang dan terus-menerus. Jadi “gotong-royong” sesungguhnya tidak hilang, sebagaimana pendapat banyak orang. Akan tetapi sedang bertransformasi ke tatanan “nilai” lain—yang tentunya tidak lagi tanpa pamrih, tetapi dengan pamrih. Hal itu disebabkan karena di abad modern ini muncul profesi-profesi baru yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi dan budaya yang biasa diapologikan sebagai kemajuan zaman.

Secara detil dapat dijelaskan dengan contoh berikut: dulu jika ada keluarga yang melakukan hajatan pengantin, maka seluruh keluarga dan warga masyarakat setempat akan ikut berpartisipasi melakukan “gotong-royong”, mulai dari ambil kayu bakar di hutan, membantu meminjamkan kursi-kursi, piring-piring dan gelas pada warga, mengantar undangan, hingga membangun “baruga” (bagunan pesta). Tetapi sekarang, setelah kita memasuki abad modern segalanya sudah bertransformasi ke bentuk lain. Tak ada lagi yang membantu mengambil kayu bakar di hutan karena kayu bakar sudah lama tak digunakan sebagai bahan bakar tergantikan oleh gas el-fiji, tak ada lagi yang membantu pinjam piring, gelas dan kursi karena sudah disiapkan sebagai satu paket yang ditangani oleh profesional tertentu. Demikian juga dengan kursi, bangunan pesta, sampai kepada pengantaran  undangan semuanya sudah ditangani oleh profesi-profesi tertentu. Ini baru di satu sektor. Yang terjadi pada  sektor lain seperti sektor pertanian, perkebunan, perdagangan, dan lain-lain juga demikian.  Apapun yang dulu tampak sebagai bentuk kegotong-royongan, saat ini sudah ditangani secara profesionalisme. Kreativitas masyarakat lokal memainkan peran penting dalam memperkaya kearifan ini — kearifan baru dengan nilai-nilai baru, tentunya akan menciptakan tradisi dan menjadi warisan yang berkelanjutan dan relevan.

Kreativitas dalam Seni Lokal

Yang disinggung di atas memang kebudayaan yang berkaitan dengan kehidupan finansial. Atau boleh disebut sebagai Kebudayaan Material. Tetapi kreativitas (dalam seni) itu berkaitan dengan Kebudayaan Immaterial. Kebudayaan Inmaterial tidak langsung berkaitan dengan hajat hidup (kebutuhan primer), melainkan ia berkaitan dengan kebutuhan skunder: seperti seni suara, seni tari, seni lukis, seni drama, dan seni sastra. Seni-seni ini memiliki genre dan subgenre. Seperti sastra yang memiliki beberapa genre: puisi, esai, cerpen, novel, samapai kepada dongeng sebagai bentuk sastra tradisional. Demikian pula Seni musik, seni tari, seni lukis, masing masing memiliki genre dan sub genre. Di lihat dari bentuk dan ungkapan isi, corak serta aliran, jenis-jenis seni ini pun terbagi lagi ke dalam apa yang disebut bentuk seni  tradisional dan seni modern. Nah, pada pemahaman ini kita bisa mengatakan bahwa apa yang disebut sebagai seni tradisional itu muatannya sangat berkaitan dengan  nilai-nilai yang berkearifan lokal. Sementara apa yang disebut dengan seni modern muatannya sangat berkaitan dengan nilai-nilai kemajuan zaman atau modernisasi. Lalu bagaimana mengolah seni tradisional ini hingga dapat menjadi seni modern?

Kreativitas di sini memang dibutuhkan.  Kita harus berhenti membuat pertentangan yang tak berkesudahan. Kita harus membuang dialektika dan mencoba ber “mono-lektik” (apakah sudah ada dalam  kamus?), yaitu berpikir tunggal, menyatukan dua “isme” yang berbeda. Kita harus menyatukan Tradisionalisme dan Modernisme dalam satu pemahaman baru. Jadinya mungkin kita memang harus menjadi penganut pascamodernisme atau yang biasa juga disebut dengan terminologi, posmodernisme atau post-mo, walau memiliki definisi yang berbeda pula dengan apa yang dikemukakan oleh para penganut posmodernisme Barat.

Pascamodernisme atau post-mo, berdasarkan catatan Wikipedia adalah gerakan abad akhir ke-20 dalam seni, arsitektur, dan kritik, yang melanjutkan modernisme. Paham ini adalah interpretasi skeptis terhadap budaya, sastra, seni, filsafat, sejarah, ekonomi, arsitektur, fiksi, dan kritik sastra. Pascamodernisme adalah paham yang berkembang setelah era modern dengan modernismenya. Pascamodernisme bukanlah paham tunggal atau sebuah teori, tetapi justru memayungi berbagai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal.

Karena paham ini lagi-lagi datang dari Barat maka banyak pemikir atau tokoh dari Barat yang memberikan arti pascamodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme. Namun kelanjutan yang dimaksud itu menjadi sangat beragam. Hal ini tercermin juga dari definisi-definisi yang disampaikan oleh beberapa tokoh Pascamodernisme seperti Bagi Lyotard dan Geldner. Kedua tokoh ini mendefinisikaan pascamodernisme sebagai pemutusan secara total dari modernisme. Tapi bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, pascamodernisme adalah bentuk radikal dari kemodernan, dan bagi David Graffin, pascamodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari modernisme. Berbeda lagi dengan Giddens, yang mengartikan pascamodernisme adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak, yang kontroversial pula dengan pengertian dari Habermas yang menyebutkan pascamodernisme merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai.

Jika dicermati lebih fundamen pengertian-pengertian dari apa yang disebut sebagai posmodernisme atau pascamodernisme itu berdasarkan definisi-definisi  Barat, maka benar bahwapostmodernisme atau pascamodernisme adalah bentuk skeptis untuk menolak paham modernisme. Karena modernisme di Timur sesungguhnya bukanlah kelanjutan dari tradisionalisme (sebagai karakter kebudayaan Timur) maka orang-orang Barat tidak sampai mendefinisikan posmodernisme sebagai bentuk skeptis dari tradisionalisme, yang di dunia Barat memang kurang dipahami. Tetapi di abad modern ini  kita harus menambah pemahaman tentang posmodernisme sebagai paham yang menyempurnakan tradisionalisme maupun modernisme.

Tarian, musik, dan karya seni lainnya mencerminkan identitas budaya suatu daerah. Melalui sentuhan kreativitas, seniman lokal dapat menggabungkan elemen tradisional dengan inovasi kontemporer, untuk menghasilkan karya seni yang unik dan menarik bagi penonton global. Nah, itulah pengertian posmodernisme dalam bentuk baru berdasarkan definisi ketumuran.  Kearifan lokal menjadi sumber inspirasi yang tak terbatas, mendorong seniman untuk mengeksplorasi dan menyampaikan pesan-pesan baru melalui medium seni. Mendongeng harus menjadi seni posmodern yang tidak lagi hanya membawa pesan Pedagogik tapi juga Androgogik. (Dalam esai lain saya menulis hal ini dengan judul “Tersesat di Dunia Dongeng”, juga dapat rujukan pada tulisan saya yang lain  “Literasi Digital, Literasi Dunia Dan Local Wisdom”, tentu dengan persoalan yang berbeda.)

Selain seni, kearifan lokal juga dapat menjadi dasar untuk inovasi teknologi. Pengetahuan tradisional dalam pengobatan herbal, pertanian organik, dan teknik pengolahan makanan dapat menginspirasi pengembangan solusi modern yang berkelanjutan. Dengan memadukan kearifan lokal dengan teknologi canggih, masyarakat dapat menciptakan solusi yang sesuai dengan kondisi lokal, menjadikan inovasi tersebut lebih relevan dan efektif.

Meskipun kearifan lokal sesungguhnya memiliki potensi besar sebagai sumber kreativitas untuk menciptakan seni-seni moden namun nilai-nilai dan moralitasnya tetap harus dipertahankan. Karena tanpa “nilai” dan “moralitas” maka seni itu akan liar dan benar-benar menjadi  “posmodern” dalam pengertian Barat. Lepas dari tradisi. Oleh karena itu untuk tetap mempertahankan acuan maka perlu ada  pemeliharaan dan pelestariannya seni-seni  budaya tradisional tanpa mencampur-baurkan pengertian. Modernisasi dan globalisasi memang dapat saja menjadi  ancaman hilangnya identitas lokal jika tak hati-hati menyiasatinya. Oleh karena itu kita harus bijak memperlakukan seni-seni tradisional berdasarkan proporsi dan kedudukannya agar tetap hidup dan dapat terus menginspirasi lahirnya kreativitas seni-seni modern atau pascamodern.

Kearifan lokal bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga sumber kreativitas yang tak terbatas. Dalam menghadapi tantangan globalisasi, menjaga dan mengembangkan kearifan lokal menjadi kunci untuk menciptakan dunia yang kaya akan inovasi dan beragam dalam segala aspek kehidupan. Kita perlu mengakui bahwa kearifan lokal bukanlah hambatan yang harus ditolak dengan tingkah laku skeptis, melainkan peluang bagi kita semua untukmenciptakan kreasi baru  yang bersumber dari akar budaya kita sendiri. Oleh karena itu memang perlu diurun-rembuk agar kearifan lokal tetap berjaya dan menjadi sumber kreativitas terutama bagi penulis-penulis muda sekarang ini.

Barru, Januari 2024

Klik DI SINI untuk kembali ke laman ESAI-ESAI BADARUDDIN AMIR

IN MEMORIAM FRANS NADJIRA ( 3  SEPTEMBER 1942 –  12 JANUARI 2024 )

Posted in Esai on Januari 13, 2024 by badaruddinamir

Oleh Badaruddin Amir

Frans Nadjira lahir pada 03 September 1942 di Makassar dan meninggal dunia pada 12 Januari 2024 di Denpasar Bali dalam usia 82 tahun 4 bulan. Walau Frans Nadjira mengaku tidak punya pendidikan formal namun ia pernah menimba keterampilan melukis di Akademi Seni Lukis Indonesia (ASLI) Makassar, kemudian melanjutkannya dengan otodidak. Ia belajar seni –terutama melukis secara otodidak. Kemudian semakin mateng setelah ia bergaul dengan para seniman pelukis di Bali.

Penulis sedang baca puisi di depan Frans Nadjira (Foto: Dok. Pribadi)

Sebagai anak yang lahir dan besar di tanah Makassar di masa mudanya ia gemar berlayar dengan perahu-perahu Bugis ke berbagai pulau di nusantara. Kegemarannya merantau dan berkelana ke berbagai daerah ini mengantarkannya kepada berbagai pekerjaan kasar di hutan-hutan Kalimantan, menjadi Anak Buah Kapal (ABK) pada kapal-kapal perairan Filifina, menjadi buruh pelabuhan dan berbagai pekerjaan kasar lainnya.

Pengalaman hidup di masa mudanya membuat ia ulet dan tahan menjalani kehidupan, termasuk kehidupan  dalam dunia seni yang penuh hiruk-pikuk. Ia terdampar di Bali – di kota yang dijuluki dunia sebagai pulau surga Indonesia karena kekayaan alamnya. Di pulau Dewata inilah bakat seninya menemukan tanah subur hingga dapat bertumbuh dan berkembang menjadi seniman secara total.  Ia melukis dan juga menulis puisi, cerpen, serta novel. Dalam buku “Apa Siapa Penyair Indonesia” yang diterbitkan oleh Yayasan Puisi Indonesia, 2017 dijelaskan bahwa kegemarannya berlayar dengan perahu pinisi bertujuan untuk menimba ilham langsung dari sumsum kehidupan (dari pengalaman hidup yang nyata), belajar mengolah kecerdasan rohani dan tuntutan kosmik pada seorang “Perenung” yang hidup menyepi di pantai Brau Kalimantan Timur. Agaknya ia punya guru “spiritual”  di sana,  karena dikatakan bahwa dari sana ia mempersiapkan hati untuk mengalami makna keindahan dan mewakafkan hidupnya untuk kesenian.

Tahun 1974 setelah sebelumnya selama dua tahun hidup di Medan Sumatra Utara dan bertemu dengan jodohnya, seorang perempuan keturunan Minang yang dengan mesra dipanggilnya Unda,  ia terdampar di Denpasar Bali. Di Denpasar Bali ia total berkesenian, sebagai pelukis dan sastrawan. Tidak jelas talenta apa yang pertama kali menguasai  jiwa petualangan seni Frans Nadjira. Sebagai pelukis ia memilih metode seni lukis otomatis (psikografi) yang ditekuni hingga akhir hayatnya dan sebagai sastrawan ia sangat gandrung pada dunia lirik yang sarat dengan nilai-nilai filosofis. Di Bali, bersama penyair Umbu Landu Paranggi ia dianggap sebagai “maestro”, seorang pemimpin seni – seorang guru bagi seniman-seniman muda Bali. Menurut catatan Raudal Tanjung Banua, seorang penyair muda yang cukup mengenal Frans Nadjira,  mengatakan:  “Fans Nadjira adalah nama yang lekat dalam dunia sastra dan seni lukis di Bali. Di dunia sastra, ia merupakan tandem Bung Umbu Landu Paranggi dalam kerja-kerja pendampingan, apresiasi dan motivasi seni. Jika Bung Umbu lebih banyak diam dan manggut-manggut membaca atau mendengar karya seseorang dibacakan, atau “menitip pesan” pada seseorang lain untuk menyatakan “sajak si anu begini, sebaiknya begitu”, Om Frans tanpa tedeng aling-aling akan menunjuk ini dan itu langsung di hadapan si empunya sajak, mencorat-coretnya jika perlu, hingga tinggal sebaris dua dan ia sentak,”Harus kejam pada diri sendiri!” (Raudal, 2023).

Di Bali dia bertemu dan bergelut dengan komunitas seni. Kapasitasnya dalam dunia seni lukis dan seni sastra hampir sama. Pada saat yang bersamaan orang mengenal Frans Nadjira sebagai pelukis dan juga sebagai sastrawan. Sebagai sastrawan Frans Nadjira menggeluti semua genre (jenis) karya sastra. Ia menulis puisi sejak tahun 1960, demikian juga dengan cerita pendek dan kemudian novel. Karya-karya puisi dan cerpennya memang baru tersiar di tahun 1962, dimuat dalam surat kabar yang terbit di Makassar, kemudian dalam surat kabar dan majalah-majalah nasional. Tetapi karya-karyanya yang banyak tersebar di surat kabar dan majalah-majalah nasional itu, dikatakan dikirim dari tempat yang tak beralamat. Entah karena waktu itu Frans belum memiliki alamat yang tetap, entah sebuah kesengajaan agar jatidirinya menjadi misterius. Yang pasti karya-karya sastra Frans Nadjira seperti puisi dan cerpen-cerpennya diketemukan pada majalah Warta Dunia Jakarta, dan puisi-puisinya bahkan diketemukan juga di koran-koran yang terbit di Brunai. Cerpen dan puisinya yang segera dianggap bernilai sastra termuat di Majalah Horison, rubrik budaya koran Sinar Harapan, Berita Buana, Kesenian, Zaman, Mutiara. Dengan karya-karyanya (puisi dan cerpen) yang dianggap bernilai sastra itu, akhirnya pada tahun 1973 Frans Nadjira mendapat “Grant” dari Pemerintah Amerika Serikat untuk mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa,  Iowa City,USA.

Saya pertama kali mengenal Frans Nadjira justru bukan sebagai penyair apalagi pelukis, tapi sebagai seorang cerpenis melalui cerpennya yang termuat pada majalah sastra Horison berjudul “Bercakap-Cakap di Bawah Guguran Daun-Daun”. Cerpen ini bersama beberapa puisi pendeknya kemudian terpilih masuk ke dalam buku antologi “Laut Biru Langit Biru” susunan Ajip Rosidi (Pustaka Jaya, 1977), lalu kemudian menjadi judul kumpulan cerpen Frans Nadjira yang diterbitkan oleh Bank Naskah Indonesia, Surabaya (1979). Pembahasan mengenai kumpulan cerpen  “Bercakap-Cakap di Bawah Guguran Daun-Daun” dapat dilihat pada buku “Cerita Pendek Indonesia Mutakhir: Sebuah Pembicaraan” karangan Korrie Layun Rampan (Nurcahaya, 1982).

Cerpen ini bagi saya sangat menarik karena termasuk cerpen inkonvensional saat itu. Ceritanya sangat pendek dan tidak mengalir dalam plot sebagaimana cerpen pada umumnya. Bahkan dialog atau percakapan pun  tidak ada, kecuali monolog interior atau internal monologue, yaitu obrolan yang terjadi dalam pikiran sendiri. Atau, seperti yang dikatakan oleh Korrie Layun Rampan, ceritanya tidak berjalan dalam gerak ketubuhan atau mengalir dalam plot,  tetapi padat dengan percakapan jiwa yang disajikan  dalam kalimat-kalimat yang puisis. “Bercakap-Cakap di Bawah Guguran Daun-Daun” adalah sebuah cerpen yang menggambarkan seseorang yang telah menanti dengan sadar datangnya maut.

Karya-karya sastra Frans yang lain berupa puisi termuat pada sejumlah antologi penting sastra Indonesia, seperti: “Laut Biru Langit Biru”, “Ketika Kata Ketika Warna” dan “Kumpulan Horison Sastra Indonesia”. Karya tunggalnya berjudul “Jendela” (1980), “Curriculum Vitae” (2007), dan  “Catatan di Kertas Basah” (2015). Pada 2017. Saat usianya sudah sepuh, Frans masih menerbitkan buku puisi melankolia berjudul “Peluklah Aku” dan masih terus mencipta lukisan. Hingga akhir hayatnya, penyair yang gemar mendengarkan lagu-lagu Nat King Cole ini, memilih menetap di Bali sejak 1974.

Tahun 2015 adalah tahun kenangan dengan catatan penting bagi Frans Nadjira,  karena pada tahunitu ia menyerahkan naskah kumpulan puisinya berjudul “Catatan di Kertas Basah” pada sahabatnya Goenawan Monoharto untuk diterbitkan di tanah kelahirannya, Makassar. Buku itu pun diterbitkan oleh penerbit  de la macca, yang dipimpin oleh Goenawan, dan sekaligus setelah terbit dapat diluncurkan di Makassar dengan melibatkan penyair-penyair Makassar seperti Goenawan Monoharto, Yudhistira Sukatanya, Tri Astoto Kodarie, Luna Vidya, dan lain-lain sebagai penggagas dan pelaksana serta ikut ambil bagian. Kehadiran Om Frans Nadjira bersama istrinya membuat acara peluncuran buku tersebut sangat lengkap. Saya, salah seorang yang diminta untuk memberikan endorsmen pada buku tersebut. Saya menulis:

”Kita bisa membedakan dua gaya penulisan puisi Frans Nadjira pada buku ‘Catatan di Kertas Basah’ ini, yaitu puisi-puisinya yang panjang dan puisi-puisinya yang pendek. Puisi-puisinya yang panjang –namun tetap mempertahankan gaya lirik, sarat dengan beban filosofis, dan bertabur kritik-kritik sosial misalnya dalam puisinya yang berjudul ‘Sajak Malam Hari’, ‘Badai dalam Ransel’, ‘Abrahan Tua’, ‘Sakak Pagi Hari’, dan yang menjadi judul buku ini ‘Catatan di Kertas Basah’. Namun yang paling menarik bagi saya justru adalah puisi-puisinya yang pendek, yang sehalaman. Lirik-lirik yang dibangunnya sangat mencekam, bagaikan suara-suara yang memanggil dari jauh. Sarat dengan ungkapan dan metafora yang segar dan baru seperti perpaduan warna gelap dan terang yang tergores di atas kanvasnya. Frans bukan nama baru dalam perpuisian Indonesia. Ia sudah hadirsebagai penyair sejak tahun 1970-an, dan masih konsisten memelihara gaya lamanya berpuisi dan tidak goyah hingga hari ini”.

Puisi, prosa (cerpen -karena saya belum membaca novel beliau), dan mungkin juga lukisan-lukisan Frans memang satu glimbing penciptaan yang sama. Ada psikologi melankolis yang mendalam dan mencekam mewarnai setiap karyanya, entah puisi, cerpen, dan maupun lukisan-lukisannya. Bacalah beberapa bait puisinya yang mencekam dan menggambarkan kematiannya ini:

Tiga bait dari delapan belas bait puisi yang berjudul “Catatan di Kertas Basah” ini mendedahkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam pikiran penulis terkait dengan kematian dan kehilangan. Mengapa kereta datang lebih awal dan mengapa berwarna suram. Ini menjadi simbol kematian atau kepergian seseorang. Apakah kematian hanya seperti tidur yang senyap mengisyaratkan pada kebingungan atau pencarian pemahaman tentang proses kematian.

Di balik pertanyaan filosofis tersebut ada gambar-gambar alam, seperti bunga yang menangis, hujan yang gemetar di udara, dan petir yang mengigau. Adalah ungkapan-ungkapan kepedihan dan kesedihan yang dialami oleh alam atau oleh mereka yang ditinggalkan. Dan perhatikanlah tentang “Jalan Setapak Beralas Beludru”. Metafora ini merujuk pada hidup dan takdir seseorang yang mungkin penuh dengan kelembutan dan kemewahan, tetapi pada akhirnya menghadapi pertanyaan kritis atau kehilangan. Secara keseluruhan, puisi ini menciptakan gambaran yang kuat tentang kehilangan, pertanyaan-pertanyaan yang menggantung, dan rasa sakit emosional yang terkait dengan perpisahan atau kematian. Innalillahi Wainnailaihi Rojiun, selamat jalan penyair kesayangan yang pernah lahir di Makassar, Daeng Frans Nadjira!

Barru, 2024

Klik DI SINI untukkembali ke laman ESAI-ESAI BADARUDDIN AMIR

IN MEMORIAM M. ANIS KABA, SANG “MAESTRO” YANG SELALU MEMAKAI TOPI COWBOY

Posted in Esai on Januari 8, 2024 by badaruddinamir

Oleh Badaruddin Amir

SATU

Meski kata maestro sesungguhnya kurang tepat disandangkan pada penyair, penyair siapapun, lantaran kata maestro yang berasal dari bahasa Italia ini sesungguhnya adalah sebutan bagi guru atau pemimpin paduan suara atau musik instrumen pada zaman dahulu, bukan untuk penyair. Namun rasanya tidak salah jika secara emosional-pribadi, saya menyebut penyair M. Anis Kaba sebagai seorang “Maetro” untuk diri saya. Ia banyak memberi pelajaran pada saya, terutama melalui instrumentalia kehidupan pribadi beliau yang sangat beragam.

DUA

Ia seorang pegawai BUMN , tapi juga seorang penyair. Bukan itu saja, ia juga seorang bibliofilisme, yaitu seseorang yang memiliki kecintaan atau kegemaran yang mendalam terhadap buku, terutama dalam hal pengumpulan, menyelidiki, dan menghargai buku-buku langka, atau bernilai tinggi secara estetis. Ia memiliki hasrat atau obsesi terhadap buku, dan seringkali akan berusaha untuk mengumpulkan edisi khusus, buku langka, atau buku-buku dengan kondisi sempurna. Aktivitasnya melibatkan penjelajahan ke toko buku langka, perpustakaan tua, dan pasar antik untuk menemukan buku-buku yang dianggap berharga atau istimewa. Ia juga melakukan restorasi tulisan-tulisan bersejarah untuk memastikan kelangsungan hidup dan keberlanjutan karya tulis tersebut. Ia suka membuat klipping.

Jadi ia bukan hanya sekadar memiliki koleksi banyak buku, tetapi juga melibatkan penghargaan terhadap nilai sejarah, seni, dan keunikan dari setiap koleksinya. Bahkan untuk konsentrasi ini  ia mengoleksi buku yang sangat khusus, seperti buku-buku bertanda tangan, edisi terbatas, atau buku-buku dengan ilustrasi yang langka. Sebutlah contohnya ia memiliki koleksi buku buku Bung Karno –salah satu yang khas adalah koleksi lukisan Bung Karno edisi foto lukisan asli, bukan reproduksi cetak offset. Hal ini mencerminkan kecintaan dan dedikasinya terhadap dunia literasi, tulis-menulis dan pengakuan terhadap nilai budaya serta sejarah yang terkandung dalam buku-buku. Ia memiliki kecintaan tinggi kepada buku karena isinya, bukan sekadar hobi mengoleksi buku tanpa membacanya. Atau dengan kata lain, ia memang suka suka membaca sejak muda. Oleh karena itu setiap tamu yang datang bertandang ke rumahnya, ia akan memperkenalkan buku-buku tuanya, sekaligus menjelaskan apa isi dari buku-buku tersebut. Selaku Bibliofil ia menjadi guru pada saya dan teman-teman lainnya. Ia sering mengajari saya bagaimana memperlakukan buku dengan baik, misalnya bagaimana “menyimpan” buku pada rak agar tidak digerayangi rayap; yaitu dengan mengalasi rak buku memakai plastik licin. Dan praktik ini diajarkannya kepada semua sahabat bibliofilismenya.

TIGA

Tapi dia sudah pergi tanpa diiringi air mata oleh kekasihnya dalam usia yang memang sudah cukup renta. Instrumentalia kehidupannya saya kira sudah sampai pada escape yang sempurna. Punya istri (yang lebih duluan menghadap Tuhan), punya anak-anak dan beberapa cucu –yang juga kemudian salah seorang cucu kecintaannya lebih duluan menghadap Tuhan, memiliki kepedulian terhadap dunia literasi, kepedulian terhadap dunia seni, khususnya dunia sastra, dan di masa tua juga memiliki kepedulian pada dunia filsafat dan tasawuf sebagai upaya merintis jalan lempang menuju ke Tuhan.  

Tapi hari itu 03 Januari 2024, sahabat tua kita, penyair M. Anis Kaba telah menapak jalan lempang menuju ke rumah Tuhan. Ia tak menunggu siapa-siapa karena ia tahu berangkat ke rumah Tuhan tak butuh teman siapa-siapa. Ini pernah ia ungkapkan dalam salah satu puisinya yang ditullis pada tahun 1971 berjudul “BILA AKU BERANGKAT” sebagai berikut:

BILA AKU BERANGKAT

baik, bila aku berangkat

jangan pula diumpat

karena kereta bergerak

ke tempat tanpa kerabat

dan, bila aku menghadap Dia

kubawa ini berita;

rupanya kita semua sama

kecuali yang ingkar sumpah

ya, semua adalah kekasih

dan Engkau Maha Pengasih

Makassar, 1971

Lima puluh tiga tahun yang lalu ia sudah menyadari betapa perjalanan menuju ke rumah-Nya tak butuh teman siapa-siapa, juga tak butuh kerabat dan ia memahami bahwa yang dibutuhkan olehNya hanyalah “berita” bahwa ia, seperti juga yang lain –yang telah berpulang- hanya membawa kepercayaan, yaitu sumpah yang kita bawa sejak lahir –yang tak pernah boleh diingkari. Hanya karena ingin mempertebal keyakinan akan sumpah itu, maka kita pada umumnya yang memiliki kepercayaan memang perlu mengkaji ulang jalan-jalan lempang melalui filsafat dan tasawuf di masa tua, seperti yang dilakukan juga oleh M. Anis Kaba di senja usianya.

Puisi “Bila Aku Berangkat” di atas menciptakan suasana introspeksi dan refleksi spiritual jauh sebelum M. Anis Kaba mendapat pratanda. Ia menggunakannya dengan kata-kata yang sederhana namun dalam, membangun sebuah narasi tentang perjalanan hidup menuju akhirat. Ia menyajikan pesan tentang perjalanan hidup dengan cara yang penuh dengan kebijaksanaan. Pergi dengan kereta yang bergerak menuju ke tempat yang jauh dari kerabat,  menekankan pada esensi perjalanan spiritual yang penuh kesendirian. Ini bisa diartikan sebagai perjalanan menuju kehidupan setelah mati atau perjalanan rohani dalam mencari makna hidup di balik kematian.

Tak ada lain makna yang diungkapkan penyair selain jalan lempang menghadap kepada Yang Maha Kuasa dengan membawa “berita”. Pesan yang diungkapkan adalah tentang kesamaan di antara kita semua, kecuali bagi yang ingkar sumpah. Hal ini mencerminkan pemahaman akan kesadaran transenden tentang persamaan hak dan nilai di hadapan Tuhan, sekaligus menunjukkan pengecualian bagi mereka yang melanggar janji atau sumpah. Kita tentu cukup memahami makna transendensi yang dimaksud penyair sebagai janji dan sumpah yang tak boleh dilanggar itu.

Puisi ini mencapai puncaknya dengan pengungkapan bahwa semua adalah kekasih dan Tuhan adalah Maha Pengasih. Ungkapan yang menggambarkan pemahaman beliau tentang kasih sayang Tuhan yang meliputi semua makhluk-Nya, tanpa memandang perbedaan. Pesan kebersamaan dan cinta kasih diakhiri dengan penyebutan lokasi dan tahun, menempatkan puisi ini dalam konteks waktu dan tempat yang memberikan nuansa sejarah dan kultural dalam perjalanan pulang. Ia sesungguhnya telah lama mengajak kita untuk merenung tentang arti hidup, perjalanan spiritual, dan hubungan dengan Yang Maha Kuasa. Puisi ini memadukan elemen-elemen spiritual dengan bahasa yang sederhana namun dalam, menciptakan karya yang memikat hati dan pikiran kita, jika kita benar-benar tidak ingkar. Ia menyadari jalan lempang itu, ia menyadari akan mutlak datangnya waktu itu….

Seandainya beliau masih boleh bertahan hidup hingga 12 April 2024 maka usia beliau persis 83 tahun. Sebuah usia yang memang sudah uzur untuk menikmati alam kemerdekaan yang lain. Tapi ajal tak pernah bisa tertunda sedetik pun. Maka beliau hanya mampu bertahan hidup di dunia fana ini selama 82 tahun 9 bulan. Beliau lahir pada 12 April 1942 di Limbung Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan.

EMPAT

Memang tak banyak penulis muda yang mengetahui riwayat hidup yang sesungguhnya dari sang Penyair yang selalu mengenakan topi cowboy atau topi loreng militer ini. M. Anis Kaba  berkiprah di bidang kesenian jauh sebeum mereka lahir. Saya pun sebagai salah seorang sahabat mudanya yang lahir tahun 1962 belum nongol ke bumi saat beliau sudah berkiprah di bidang kesenian yang dimulainya sejak tahun 1959. Ia adalah salah seorang pendiri Organisasi Seniman Muda (ORSENIM) Cabang Makassar. Tahun 1964 ia bermain teater dan ikut dalam pementasan drama “Yang Konsekwen” karya B. Soelarto.  Tahun 1968-1970 Ia bukan hanya sebatas menyair (menulis puisi), tapi juga pengasuh siaran kesenian di RRI/TV Nusantara I Makassar  (rubrik Simponi). Ia juga pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Mingguan Pancasila, Redaksi Budaya di Mingguan Arena Budaya, dan Ekspresi Minggu. Belakangan saat usianya senja pun masih punya semangat menulis yang tinggi dan mengajak saya – teman mudanya, untuk bergabung dengan tabloid “Serapo” yang terbit di Kalimantan dan diasuh oleh sahabatnya budayawan gaek Zul Hamdani (Alm), dan saat itu  memang beliau sudah bergabung duluan. Ia membuat laporan jurnalistik tentang pembuatan perahu pinisi di  Bulukumba dan saya membuat laporan tentang kerajaan Berru yang menjadi cikal bakal nama Kabupaten Barru di tabloid Serapo, dalam edisi yang sama.

Saya mengenal beliau pertama kali –sudah lupa tahun berapa- dikenalkan oleh sahabat mudanya yang lain bernama Muhary Wahyu Nurba di rumahnya Jl. Kelinci No. 6B-6C –yang juga merangkap menjadi perpustakaan. Tapi setelah perkenalan itu hubungan saya dengan M. Anis Kaba menjadi unik dan akrab, hanya karena saya memiliki hobby yang sama sebagai bibliophile: suka mengoleksi buku-buku hingga menjadi sebuah “perpustakaan”. Saya memberi nama perpustakaan pribadi saya sebagai ”Perpustakaan Komunitas Iqra” dan M. Anis Kaba memberi nama perpustakaannya sebagai “Perpustakaan Usthask Kita” (lihat betapa lucu nama perpustakaan beliau) itu. Dan bukan kebetulan pula jika pada tahun 2021  pada acara “Pencanangan Sulsel sebagai Lokomotif Indonesia Membaca dan Talkshow Birokrat Politisi Membaca” di Cafe Layar Lantai III Mall Ratu Indah (MARI), kami (saya, M. Anis Kaba, dan juga Darmawan Denassa, pemilik pustaka Rumah Hijau Denassa di Gowa)  mendapat penghargaan dari Gubernur Sulsel, Syahrul Yasil Limpo  sebagai “Pelopor Pengembangan Perpustakaan di Sulawesi Selatan”. Dari sini saya menyimpulkan bahwa  M. Anis Kaba bukan saja seorang seniman, jurnalistik, penyair, tapi juga seorang bibliophile dan dokumentator sastra. Sungguh tak banyak penyair Sulsel yang memiliki talenta seperti beliau.

LIMA

Di masa produktifnya M. Anis Kaba sesungguhnya adalah seorang pegawai PT. Pertani (Persero) hingga pensiun di tahun 1999. Ia pernah bertugas di beberapa daerah sehingga memiliki relasi yang luas dengan kepala Gudang Beras Dolog di daerah-daerah. Suatu ketika (saya lupa tahun berapa) dalam perjalanannya menuju ke Kabupaten Enrekang bersama dengan seorang temannya (saya lupa siapa temannya waktu itu, tapi tampaknya seorang tokoh/budayawan penting pula dari Unhas) , beliau singgah di rumah saya di Barru menyampaikan undangan lisan H. Udhin Palisuri  yang hari itu menjadi Ketua Panitia Seminar Internasional Kebudayaan Massenrempulu di Enrekang. Ia mendesak saya agar ikut pada seminar tersebut dan bersama-sama ke Enrekang dalam satu mobil. Kami pun semobil (mobil temannya) menuju ke Enrekang. Di tengah jalan baru saya mengetahui mengapa M. Anis Kaba sangat mendesak saya untuk ikut seminar. Rupanya ia  mendapat amanah dari Rahman Arge agar ia menggantikan Pak Rahman Arge untuk membawakan makalahnya pada Seminar Internasional tersebut berhubung Rahman Arge berhalangan hadir karna terserang vertigo.

“Jadi saya minta Pak Badar-lah yang menggantikan Pak Rahman Arge nanti di Enrekang untuk membawakan makalah beliau. Tenang saja, makalahnya sudah ia berikan pada saya” katanya sambil mengeluarkan sehalaman kertas polio dari dalam tasnya.

Saya merinding. Terus terang saja waktu itu saya belum punya pengalaman tampil di depan forum seminar, apalagi seminar internasional tentang budaya Massensempulu berdampingan dengan seorang budayawan besar dan antopolog terkenal seperti Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra,MA, M.Phil. dan dihadiri pula oleh Dirjen Kebudayaan. Apalagi, saya kenal betul “makalah” Rahman Arge, bukanlah sebuah makalah biasa yang bisa dibacakan begitu saja sampai habis. Makalah Pak Arge hanyalah pokok-pokok pikiran dan dialah yang mengembangkan pokok-pokok pikiran itu di forum.

Rupanya kecemasan seperti ini juga menghantui M. Anis Kaba makanya “memaksa” saya untuk ikut pada rombongannya, agar dapat merayu saya untuk menggantikannya mengemban amanah Pak Rahman Arge. Tapi saya tak kekurangan akal: saya bilang saya tidak mengenal budaya Massenrempulu dan lebih berwibawa kalau Pak Anis saja membawakannya. Saya mengajari Pak Anis kiat bagaimana menghindari tanya-jawab audiens nanti. Bilang saja semua pertanyaan akan dijawab sendiri oleh Pak Rahman Arge melalui kolomnya di Harian Fajar (waktu itu Rahman Arge punya kolom tetap  di Harian Fajar dan Harian Pedoman Rakyat). Jadi, tugas Pak Anis setelah selesai membaca makalah pendek itu hanya mencatat pertanyaan-pertanyaan audiens. Tapi di luar dugaan M. Anis Kaba bukan saja sekadar membaca makalah pendek Pak Rahman Arge, tapi ia ternyata bisa memerankan karakter Rahman Arge dengan baik di forum, bahkan dia dapat memberikan komentar-kementar tambahan yang tak ada pada pokok-pokok pikiran Rahman Arge di makalahnya. Itu semua karena M. Anis Kaba pernah juga lebur dan berbaur dengan budaya Massenrempulu ketika beliau bertugas di wilayah tersebut dan beliau mencatat kristalisasinya lewat puisi. Pulang dari kegiatan seminar tersebut Pak Anis membawa kami keliling keling di Wilayah Enrekang, bersilaturrahmi ke rumah Kepala Dolog. Beban mobil pun bertambah berar dengan beberapa karung beras pemberian Kepala Dolog.

Di Bidang sastra M. Anis Kaba termasuk seorang penyair tua yang selalu setia mengikuti perkembangan, walaupun oleh beberapa teman sering berkelakar menyebutnya “penyair Gaptek”. Beliau belum mengenal teknologi informasi canggih, internet, media sosial. Suatu ketika saya menemukan akun facebooknya yang penuh dengan gambar-gambar wanita cantik. Saya terpesona dan bilang pada Muhary  melalui WA bahwa Pak  Anis sudah main facebook. Muhary jawab bahwa itu ulah cucunya. Pak Anis tetap Pak Anis sejak dulu. Ia hanya mengenal HP non digital alias HP konek-konek. Ia menulis juga tidak dengan komputer atau laptop , tapi dengan mesin ketik tua. Saat  diminta karya puisinya misalnya untuk sebuah antologi, panitia harus repot lagi mengetik ulang puisinya dengan komputer. Tapi sebagai seniman ia  memang memiliki integritas dan kesetiaan yang tinggi. Semasih tak ada halangan diundang atau tak diundang pun akan tetap datang pada even sastra yang diadakan di Makassar. Beberapa kali ia menelpon saya untuk menyampaikan informasi dan mengajak saya untuk mengikuti even sastra agar saya mengikutinya. Saya tahu ia senang jika beliau bersama saya, karena saya akan setia datang mengantar jemput beliau di rumahnya. Waktu itu saya masih mengendarai motor jadi agak gampang masuk ke lorong yang menuju rumahnya.

Sekali waktu ia menelpon saya agar ikut pada kegiatan Sasatra Kepulauan di Topejawa. Saya tidak tahu di mana Topejawa itu karena baru pertama kali mengenal nama ini. Ternyata sebuah pantai di Takalar. Dari Barru saya naik motor menjemput beliau di Jl. Kelinci No. 6B-6C, kemudia menuju ke Topejawa menabrak hujan gerimis di awal musim hujan itu. Perut mulai perih karena dingin menembus mantel. Sekitar jam sembilan malam kami tiba di lokasi. Kami mencari makan malam tapi tak ada lagi. Dapur umum sudah tutup dan piring-piring sudah telungkup. Sementara di seputar lokasi tak ada penjual  nasi. Udhin Palisuri yang malam itu akan orasi mengetahui kondisi kami, langsung memarahi  kami. Pulang saja, masa mau tinggal dalam  keadaan kelaparan seperti itu.Kalian ini benar-benar seniman kere. Usai orasi dan menerima honor Udhin Palisuri mengajak kami pulang. Ia mengiringi kami dengan mobil Hardtop-nya hingga ke perbatasan kota Makassar. Dan di sebuah restoran ia mentraktir kami makan malam. Saya dan Anis pun makan dengan lahapnya.

ENAM

Sebagai penyair M. Anis Kaba produktif menulis puisi sejak tahun 1960-an hingga masa tuanya. Puisinya yang berjudul “Perahu” dan “Sebuah Berita” ditulis pada tahun 1964 dan termuat pada buku kumpulan puisinya berjudul “Nyanyian Alam” Sajak-Sajak  M. Anis Kaba yang diterbitkan oleh Saji Sastra Indonesia tahun 2000. Sebagai penyair alam yang menulis pengalaman-pengalaman hidupnya melalui puisi, M. Anis Kaba memang cendrung mengekspresikan perasaan dan pengamatan terhadap alam. Ia cendrung menciptakan karya yang mencerminkan keindahan alam, fenomena alam, serta hubungan emosional dan spiritual dengan lingkungan sekitar.

SEBUAH BERITA

ada gubuk di desa

penghuninya berurai airmata

hari makin terik

padi-padi tidak berisi

ada nyanyian di kota

di rumah-rumah ada pesta

ketika malam tiba

kucing di kamarterbaring luka

perawan dan petani

menangisi diri sendiri

(Puisi ”Sebuah Berita”,1964)

Pada buku “Apa Siapa Penyair Indonesia” yang diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2018  saya kurator dan kontributor daerah Sulsel mencatat biogfi singkat M. Anis Kaba sebagai berikut: “Putra Gowa yang lahir di Limbung pada 12 April 1942 ini memulai karirnya sebagai seniman dan penyair sejak tahun 1960. Penerima anugrah seni “Celebes Award “ tahun 2003 untuk bidang sastra dari Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan ini juga memperoleh penghargaan dari Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan sebagai “Pelopor Pengembangan Perpustakaan” pada tahun 2011. Kumpulan puisinya yang telah terbit antara lain Nyanyian Alam (2000), Mantra Bumi (2005), Kembara Angin dan Cahaya (2009). Puisi-puisinya yang lain terkumpul dalam beberapa antologi bersama antara lain Ombak Makassar (2000), Pintu yang Bertemu (2003), Menepi ke Sepi Puisi (2007), Rajamilo dan Nyanyian Tiga Pengembara (2007).”

TUJUH

Kini M. Anis Kaba penyair yang selalu mengenakan topi cowboy ke mana saja pergi itu benar-benar telah pergi jauh dan tak akan pernah kembali lagi di antara kita. Tinggal kenangan yang dapat mendekatkan kita pada beliau. Keluarganya di kampung telah menancapkan sebuah batu nisan bertuliskan namanya di atas gundukan tanah kuburan yang masih merah. Dan para sahabatnya kini telah membuat “batu nisan” yang lain –sebuah buku memoar sebagai obituary untuk mengenangnya. Karena batu nisan yang abadi bagi seorang tokoh yang baik sebagai tempat ziarah bagi para sahabat — tiada lain adalah buku memoar seperti buku ini. Semoga tulisan ini dapat menjadi  ziarah saya yang abadi!

Barru, Januari 2024

Klik DI SINI untuk kembalike laman ESAI-ESAI BADARUDDIN AMIR

RELEVANSI MEMBACA DI ERA TEKNOLOGI INFORMASI

Posted in Esai on Januari 1, 2024 by badaruddinamir

Pada era teknologi modern ini, IT (Information and Technology) yang merupakan singkatan tak resmi namun sudah sering digukan berbalik-balik dengan TI (Teknologi Infotmasi), dalam bahasa Indonesia merupakan istilah umum untuk menyebut teknologi yang “membantu manusia dalam hal membuat, mengubah, menyimpan, mengomunikasikan dan menyebarkan informasi”. Karena fungsi-fungsinya di bidang transaksi dalam kehidupan manusia maka teknologi ini sering pula dsebut ITE sebagai akronim dari Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kemajuan yang pesat terutama setalah pengembangan sistem informasi secara luas melalui jaringan internet dan berkembang sistem digitalisasi pada berbagai aspek kehidupan manusia, maka timbul pula rekayasa-rekayasa teknologi yang bukan hanya bermanfaat bagi manusia, tapi juga dapat merugikan manusia. Teknologi informasi yang dirancang sebagai piranti kejahanan ini kemudian disebut cyber crime. Bentuk kejahatan maya ini semakin hari memang semakin merajalela karena ia tidak mengenal ruang dan waktu.

Disebutkan dalam www.cimbniaga.co.id bahwa Cyber crime adalah kejahatan di dunia maya yang memanfaatkan teknologi komputer dan jaringan internet untuk mencuri data pribadi seseorang demi kepentingan pribadi. Aksi Cyber crime dapat memberikan kerugian secara materil maupun non materil bagi para korbannya. Kemampuan IT dalam membantu manusia di bidang rekayasa tanpa batas, memungkinkan IT bekerja dengan dampak positif maupun negatif tanpa disadari oleh pengguna. Apalagi pengguna awam yang umumnya mengabaikan pentingnya keamanan, terutama data diri yang seharusnya bersifat rahasia. Informasi yang terlihat sepele seperti nomor handphone, lokasi, media sosial, hingga tanda tangan bisa menjadi incaran pelaku cyber crime untuk melancarkan aksinya.

Untuk itulah pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagai bentuk regulasi perlindungan terhadap pemakai atau konsumen IT, sekalipun undang-undang ini menurut beberapa ahli mengatakan masih memiliki banyak kelemahan dan sering digunakan hanya untuk menjerat para pengeritik pemerintah, ketimbang sebagai regulasi atau aturan umum dalam menggunakan IT sebagai alat transaksi elektronik untuk menangkal cyber crime.

Pemanfaatan Teknologi Informasi ini telah merambah ke berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk ke kehidupan literasi sehingga pemerintah pun menetapkan literasi digital sebagai salah satu aspek yang perlu dikembangkan dalam kebijakan berliterasi nasional (Gerakan Literasi Nasional) di Indonesia. Literasi digital ini merupakan pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan dalam menggunakan dan memanfaatkan media digital, seperti alat komunikasi, jaringan internet dan lain sebagainya secara mangkus.

Berkaitan dengan literasi digital kita diharapkan untuk dapat mencerdaskan kehidupan melalui peningkatan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan, termasuk cara kita mengakses dan memperoleh informasi. Karena pada era kemajuan teknologi informasi ini Internet, e-book, audiobook, dan berbagai platform digital lainnya menawarkan akses yang cepat dan mudah terhadap berbagai jenis informasi. Namun, pertanyaan muncul: masihkah kita membaca di tengah gempuran teknologi informasi ini?

Membaca di Era Teknologi Informasi

Banyak orang yang psimis bahwa kehidupan di era teknologi informasi ini telah mengeyahkan semangat literasi kita, terutama literasi-literasi konvensional yang sudah lama kita kenal seperti membaca. Setelah kedatangan perangkat teknologi informasi seperti laptop dan terutama HP yang setiap hari mengalami perkembangan dan dilengkapi dengan fitur-fitur canggih, serta updating program yang terus menerus, literasi dasar seperti membaca (dalam hal ini membaca buku) praktis telah tereliminasi dari kehidupan literasi kita. Membaca kemudian menjadi aktivitas langka dan bahkan pelan-pelan menjadi kegiatan aneh di tempat umum, terutama bagi anak-anak kalangan milinieal. Orang-orang yang sedang menunggu di ruang tunggu terminal atau bandara misalnya, tidak lagi bisa ditemukan dengan kegiatan “on reading”, melainkan semuanya sudah “on line” dengan perangkat HP android. Kalaupun ada yang membawa buku, maka bukunya hanya untuk kepentingan kuliah dan itu tersimpan dengan rapi di dalam rangsel dan tak akan pernah keluar di tempat umum seperti ruang tunggu terminal atau bandara.

Dengan kasus seperti ini sebenarnya membaca dalam rangka untuk mengakses informasi baik berupa berita, hiburan maupun pengetahuan tetap ada. Hanya saja, harus diakui bahwa akses informasi yang bertujuan untuk “hiburan” atau “menghibur diri” melalui perangkat IT seperti HP dan android memang jauh lebih gampang diperoleh dari pada melalui bahan bacaan seperti surat kabar atau buku. Maka surat kabar maupun buku pun meninggalkan ruang tunggu terminal dan bandara menuju ke ruangan-ruang perpustakaan saja sambil menunggu saatnya e-liberary menjadi penguasa pula di sana.

Pada dasarnya, praktik membaca tetap relevan dan penting di era teknologi informasi. Meskipun bentuknya mungkin berubah, kegiatan ini memegang peranan penting dalam pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman. Buku fisik, surat kabar, majalah, artikel online, blog, dan sumber informasi digital lainnya semuanya tetap menjadi jendela ke dunia pengetahuan. Adapun kekalahan-kekalahan kita menghadapi perangkat teknologi karena alasan kesehatan (terutama mata) karena radiasi cahaya dan gelombang elektronik, dan juga keterbatasan kemampuan akses karena Gaptek misalnya, itu adalah alasan-alasan individual dan sifatnya sangat pribadi. Tetapi membaca di era teknologi informasi memang akan memberikan lebih banyak dampak, baik dampak positif maupun negatif, karena literasi digital itu adalah literasi non filterasi dan bersifat multi dimensi. Pada sebuah fitur misalnya kita dapat membaca bukan hanya melalui aksara atau kata-kata, tetapi juga melalui gambar, animasi, film, dan juga kombinasi di antaranya.

Teknologi informasi memberikan kemudahan akses informasi tanpa batas geografis. Buku elektronik (e-book) dan platform online menyediakan koleksi besar materi bacaan yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja. Ini memperluas peluang bagi individu untuk terus belajar dan mengembangkan diri mereka. Media sosial, blog, tiktok, portal, podcast, e-news/e-magazine, dan terutama e-liberary yang bisa diakses dengan gratis telah menyediakan bahan-bahan pembelajaran yang tidak terbatas sehingga benar-benar dapat disebut sebagai gudang ilmu pengetahuan. Hanya saja dalam mengakses informasi tersebut kita harus membekali diri dengan pengetahuan literasi digital, memahami UU ITE, sehingga tidak melakukan pelanggaran yang menjerumuskan kita kepada cyber crime. Di samping itu kita juga harus bertindak sebagai filterator, sebagai editor, untuk menyelia bacaan yang layak dan tak layak untuk diakses, karena literasi digital tak mengenal saringan, hanya diri sendirilah yang menjadi penyaring.

Beragam Format Bacaan

Selain teks tertulis, teknologi informasi juga menghadirkan berbagai format bacaan baru. Selain e-book, e-magazine, kita juga sudah dikenalkan dengan audiobook dan podcast. Ini memungkinkan orang untuk mendengarkan informasi sambil melakukan kegiatan lain, mengatasi hambatan waktu dan multitasking. Banyak platform membaca digital yang menawarkan fitur interaktif, seperti diskusi online, zoom meeting, forum pembaca dan lain-lain. Hal ini menciptakan komunitas pembaca yang saling terhubung, memberikan pengalaman “membaca” yang lebih dinamis dan terlibat. Membaca di sini tidak lagi berarti mengeja aksara.

Membaca di era teknologi informasi tidak hanya tentang mendapatkan informasi, tetapi juga tentang pengembangan diri. Buku dan materi bacaan dapat menjadi sumber inspirasi, motivasi, dan wawasan yang mendalam, memperkaya pemahaman dan memperluas pandangan dunia. Tetapi Meskipun membaca di era digital ini tetap relevan, namun ada tantangan dan ancaman yang perlu dilawan dan diatasi. Yaitu ketergantungan kita pada informasi singkat dari media sosial dan platform digital dapat mengurangi kebiasaan membaca karya-karya yang lebih mendalam dan reflektif. Terutama karena literasi digital memang memiliki sifat-sifat yang selalu menyiapkan segalanya instan. Oleh karena itu, penting untuk menjaga keseimbangan antara informasi instan dan pemahaman mendalam yang dapat diperoleh melalui membaca konvensional.

Demikianlah pandangan psimis bahwa era teknologi informasi dapat mengeyahkan minat baca, sesungguhnya tidak seluruhnya benar. Membaca tetap memiliki tempat yang signifikan di era teknologi informasi. Kemajuan ini seharusnya dijadikan peluang untuk meningkatkan aksesibilitas dan keberagaman sumber informasi. Sementara itu, perlu diingat bahwa membaca bukan hanya aktivitas konsumsi informasi, tetapi juga merupakan perjalanan pribadi dan intelektual yang membentuk pemikiran dan kepribadian. Oleh karena itu, kita masih memiliki tanggung jawab untuk melestarikan dan menghargai kebiasaan membaca di tengah kemajuan teknologi informasi yang pesat.

Barru, 2023

Klik DI SINI untuk kembali ke laman ESAI-ESAI BADARUDDIN AMIR