Oleh Badaruddin Amir
SATU
Meski kata maestro sesungguhnya kurang tepat disandangkan pada penyair, penyair siapapun, lantaran kata maestro yang berasal dari bahasa Italia ini sesungguhnya adalah sebutan bagi guru atau pemimpin paduan suara atau musik instrumen pada zaman dahulu, bukan untuk penyair. Namun rasanya tidak salah jika secara emosional-pribadi, saya menyebut penyair M. Anis Kaba sebagai seorang “Maetro” untuk diri saya. Ia banyak memberi pelajaran pada saya, terutama melalui instrumentalia kehidupan pribadi beliau yang sangat beragam.
DUA
Ia seorang pegawai BUMN , tapi juga seorang penyair. Bukan itu saja, ia juga seorang bibliofilisme, yaitu seseorang yang memiliki kecintaan atau kegemaran yang mendalam terhadap buku, terutama dalam hal pengumpulan, menyelidiki, dan menghargai buku-buku langka, atau bernilai tinggi secara estetis. Ia memiliki hasrat atau obsesi terhadap buku, dan seringkali akan berusaha untuk mengumpulkan edisi khusus, buku langka, atau buku-buku dengan kondisi sempurna. Aktivitasnya melibatkan penjelajahan ke toko buku langka, perpustakaan tua, dan pasar antik untuk menemukan buku-buku yang dianggap berharga atau istimewa. Ia juga melakukan restorasi tulisan-tulisan bersejarah untuk memastikan kelangsungan hidup dan keberlanjutan karya tulis tersebut. Ia suka membuat klipping.
Jadi ia bukan hanya sekadar memiliki koleksi banyak buku, tetapi juga melibatkan penghargaan terhadap nilai sejarah, seni, dan keunikan dari setiap koleksinya. Bahkan untuk konsentrasi ini ia mengoleksi buku yang sangat khusus, seperti buku-buku bertanda tangan, edisi terbatas, atau buku-buku dengan ilustrasi yang langka. Sebutlah contohnya ia memiliki koleksi buku buku Bung Karno –salah satu yang khas adalah koleksi lukisan Bung Karno edisi foto lukisan asli, bukan reproduksi cetak offset. Hal ini mencerminkan kecintaan dan dedikasinya terhadap dunia literasi, tulis-menulis dan pengakuan terhadap nilai budaya serta sejarah yang terkandung dalam buku-buku. Ia memiliki kecintaan tinggi kepada buku karena isinya, bukan sekadar hobi mengoleksi buku tanpa membacanya. Atau dengan kata lain, ia memang suka suka membaca sejak muda. Oleh karena itu setiap tamu yang datang bertandang ke rumahnya, ia akan memperkenalkan buku-buku tuanya, sekaligus menjelaskan apa isi dari buku-buku tersebut. Selaku Bibliofil ia menjadi guru pada saya dan teman-teman lainnya. Ia sering mengajari saya bagaimana memperlakukan buku dengan baik, misalnya bagaimana “menyimpan” buku pada rak agar tidak digerayangi rayap; yaitu dengan mengalasi rak buku memakai plastik licin. Dan praktik ini diajarkannya kepada semua sahabat bibliofilismenya.
TIGA
Tapi dia sudah pergi tanpa diiringi air mata oleh kekasihnya dalam usia yang memang sudah cukup renta. Instrumentalia kehidupannya saya kira sudah sampai pada escape yang sempurna. Punya istri (yang lebih duluan menghadap Tuhan), punya anak-anak dan beberapa cucu –yang juga kemudian salah seorang cucu kecintaannya lebih duluan menghadap Tuhan, memiliki kepedulian terhadap dunia literasi, kepedulian terhadap dunia seni, khususnya dunia sastra, dan di masa tua juga memiliki kepedulian pada dunia filsafat dan tasawuf sebagai upaya merintis jalan lempang menuju ke Tuhan.
Tapi hari itu 03 Januari 2024, sahabat tua kita, penyair M. Anis Kaba telah menapak jalan lempang menuju ke rumah Tuhan. Ia tak menunggu siapa-siapa karena ia tahu berangkat ke rumah Tuhan tak butuh teman siapa-siapa. Ini pernah ia ungkapkan dalam salah satu puisinya yang ditullis pada tahun 1971 berjudul “BILA AKU BERANGKAT” sebagai berikut:
BILA AKU BERANGKAT
baik, bila aku berangkat
jangan pula diumpat
karena kereta bergerak
ke tempat tanpa kerabat
dan, bila aku menghadap Dia
kubawa ini berita;
rupanya kita semua sama
kecuali yang ingkar sumpah
ya, semua adalah kekasih
dan Engkau Maha Pengasih
Makassar, 1971
Lima puluh tiga tahun yang lalu ia sudah menyadari betapa perjalanan menuju ke rumah-Nya tak butuh teman siapa-siapa, juga tak butuh kerabat dan ia memahami bahwa yang dibutuhkan olehNya hanyalah “berita” bahwa ia, seperti juga yang lain –yang telah berpulang- hanya membawa kepercayaan, yaitu sumpah yang kita bawa sejak lahir –yang tak pernah boleh diingkari. Hanya karena ingin mempertebal keyakinan akan sumpah itu, maka kita pada umumnya yang memiliki kepercayaan memang perlu mengkaji ulang jalan-jalan lempang melalui filsafat dan tasawuf di masa tua, seperti yang dilakukan juga oleh M. Anis Kaba di senja usianya.
Puisi “Bila Aku Berangkat” di atas menciptakan suasana introspeksi dan refleksi spiritual jauh sebelum M. Anis Kaba mendapat pratanda. Ia menggunakannya dengan kata-kata yang sederhana namun dalam, membangun sebuah narasi tentang perjalanan hidup menuju akhirat. Ia menyajikan pesan tentang perjalanan hidup dengan cara yang penuh dengan kebijaksanaan. Pergi dengan kereta yang bergerak menuju ke tempat yang jauh dari kerabat, menekankan pada esensi perjalanan spiritual yang penuh kesendirian. Ini bisa diartikan sebagai perjalanan menuju kehidupan setelah mati atau perjalanan rohani dalam mencari makna hidup di balik kematian.
Tak ada lain makna yang diungkapkan penyair selain jalan lempang menghadap kepada Yang Maha Kuasa dengan membawa “berita”. Pesan yang diungkapkan adalah tentang kesamaan di antara kita semua, kecuali bagi yang ingkar sumpah. Hal ini mencerminkan pemahaman akan kesadaran transenden tentang persamaan hak dan nilai di hadapan Tuhan, sekaligus menunjukkan pengecualian bagi mereka yang melanggar janji atau sumpah. Kita tentu cukup memahami makna transendensi yang dimaksud penyair sebagai janji dan sumpah yang tak boleh dilanggar itu.
Puisi ini mencapai puncaknya dengan pengungkapan bahwa semua adalah kekasih dan Tuhan adalah Maha Pengasih. Ungkapan yang menggambarkan pemahaman beliau tentang kasih sayang Tuhan yang meliputi semua makhluk-Nya, tanpa memandang perbedaan. Pesan kebersamaan dan cinta kasih diakhiri dengan penyebutan lokasi dan tahun, menempatkan puisi ini dalam konteks waktu dan tempat yang memberikan nuansa sejarah dan kultural dalam perjalanan pulang. Ia sesungguhnya telah lama mengajak kita untuk merenung tentang arti hidup, perjalanan spiritual, dan hubungan dengan Yang Maha Kuasa. Puisi ini memadukan elemen-elemen spiritual dengan bahasa yang sederhana namun dalam, menciptakan karya yang memikat hati dan pikiran kita, jika kita benar-benar tidak ingkar. Ia menyadari jalan lempang itu, ia menyadari akan mutlak datangnya waktu itu….
Seandainya beliau masih boleh bertahan hidup hingga 12 April 2024 maka usia beliau persis 83 tahun. Sebuah usia yang memang sudah uzur untuk menikmati alam kemerdekaan yang lain. Tapi ajal tak pernah bisa tertunda sedetik pun. Maka beliau hanya mampu bertahan hidup di dunia fana ini selama 82 tahun 9 bulan. Beliau lahir pada 12 April 1942 di Limbung Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan.
EMPAT
Memang tak banyak penulis muda yang mengetahui riwayat hidup yang sesungguhnya dari sang Penyair yang selalu mengenakan topi cowboy atau topi loreng militer ini. M. Anis Kaba berkiprah di bidang kesenian jauh sebeum mereka lahir. Saya pun sebagai salah seorang sahabat mudanya yang lahir tahun 1962 belum nongol ke bumi saat beliau sudah berkiprah di bidang kesenian yang dimulainya sejak tahun 1959. Ia adalah salah seorang pendiri Organisasi Seniman Muda (ORSENIM) Cabang Makassar. Tahun 1964 ia bermain teater dan ikut dalam pementasan drama “Yang Konsekwen” karya B. Soelarto. Tahun 1968-1970 Ia bukan hanya sebatas menyair (menulis puisi), tapi juga pengasuh siaran kesenian di RRI/TV Nusantara I Makassar (rubrik Simponi). Ia juga pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Mingguan Pancasila, Redaksi Budaya di Mingguan Arena Budaya, dan Ekspresi Minggu. Belakangan saat usianya senja pun masih punya semangat menulis yang tinggi dan mengajak saya – teman mudanya, untuk bergabung dengan tabloid “Serapo” yang terbit di Kalimantan dan diasuh oleh sahabatnya budayawan gaek Zul Hamdani (Alm), dan saat itu memang beliau sudah bergabung duluan. Ia membuat laporan jurnalistik tentang pembuatan perahu pinisi di Bulukumba dan saya membuat laporan tentang kerajaan Berru yang menjadi cikal bakal nama Kabupaten Barru di tabloid Serapo, dalam edisi yang sama.
Saya mengenal beliau pertama kali –sudah lupa tahun berapa- dikenalkan oleh sahabat mudanya yang lain bernama Muhary Wahyu Nurba di rumahnya Jl. Kelinci No. 6B-6C –yang juga merangkap menjadi perpustakaan. Tapi setelah perkenalan itu hubungan saya dengan M. Anis Kaba menjadi unik dan akrab, hanya karena saya memiliki hobby yang sama sebagai bibliophile: suka mengoleksi buku-buku hingga menjadi sebuah “perpustakaan”. Saya memberi nama perpustakaan pribadi saya sebagai ”Perpustakaan Komunitas Iqra” dan M. Anis Kaba memberi nama perpustakaannya sebagai “Perpustakaan Usthask Kita” (lihat betapa lucu nama perpustakaan beliau) itu. Dan bukan kebetulan pula jika pada tahun 2021 pada acara “Pencanangan Sulsel sebagai Lokomotif Indonesia Membaca dan Talkshow Birokrat Politisi Membaca” di Cafe Layar Lantai III Mall Ratu Indah (MARI), kami (saya, M. Anis Kaba, dan juga Darmawan Denassa, pemilik pustaka Rumah Hijau Denassa di Gowa) mendapat penghargaan dari Gubernur Sulsel, Syahrul Yasil Limpo sebagai “Pelopor Pengembangan Perpustakaan di Sulawesi Selatan”. Dari sini saya menyimpulkan bahwa M. Anis Kaba bukan saja seorang seniman, jurnalistik, penyair, tapi juga seorang bibliophile dan dokumentator sastra. Sungguh tak banyak penyair Sulsel yang memiliki talenta seperti beliau.
LIMA
Di masa produktifnya M. Anis Kaba sesungguhnya adalah seorang pegawai PT. Pertani (Persero) hingga pensiun di tahun 1999. Ia pernah bertugas di beberapa daerah sehingga memiliki relasi yang luas dengan kepala Gudang Beras Dolog di daerah-daerah. Suatu ketika (saya lupa tahun berapa) dalam perjalanannya menuju ke Kabupaten Enrekang bersama dengan seorang temannya (saya lupa siapa temannya waktu itu, tapi tampaknya seorang tokoh/budayawan penting pula dari Unhas) , beliau singgah di rumah saya di Barru menyampaikan undangan lisan H. Udhin Palisuri yang hari itu menjadi Ketua Panitia Seminar Internasional Kebudayaan Massenrempulu di Enrekang. Ia mendesak saya agar ikut pada seminar tersebut dan bersama-sama ke Enrekang dalam satu mobil. Kami pun semobil (mobil temannya) menuju ke Enrekang. Di tengah jalan baru saya mengetahui mengapa M. Anis Kaba sangat mendesak saya untuk ikut seminar. Rupanya ia mendapat amanah dari Rahman Arge agar ia menggantikan Pak Rahman Arge untuk membawakan makalahnya pada Seminar Internasional tersebut berhubung Rahman Arge berhalangan hadir karna terserang vertigo.
“Jadi saya minta Pak Badar-lah yang menggantikan Pak Rahman Arge nanti di Enrekang untuk membawakan makalah beliau. Tenang saja, makalahnya sudah ia berikan pada saya” katanya sambil mengeluarkan sehalaman kertas polio dari dalam tasnya.
Saya merinding. Terus terang saja waktu itu saya belum punya pengalaman tampil di depan forum seminar, apalagi seminar internasional tentang budaya Massensempulu berdampingan dengan seorang budayawan besar dan antopolog terkenal seperti Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra,MA, M.Phil. dan dihadiri pula oleh Dirjen Kebudayaan. Apalagi, saya kenal betul “makalah” Rahman Arge, bukanlah sebuah makalah biasa yang bisa dibacakan begitu saja sampai habis. Makalah Pak Arge hanyalah pokok-pokok pikiran dan dialah yang mengembangkan pokok-pokok pikiran itu di forum.
Rupanya kecemasan seperti ini juga menghantui M. Anis Kaba makanya “memaksa” saya untuk ikut pada rombongannya, agar dapat merayu saya untuk menggantikannya mengemban amanah Pak Rahman Arge. Tapi saya tak kekurangan akal: saya bilang saya tidak mengenal budaya Massenrempulu dan lebih berwibawa kalau Pak Anis saja membawakannya. Saya mengajari Pak Anis kiat bagaimana menghindari tanya-jawab audiens nanti. Bilang saja semua pertanyaan akan dijawab sendiri oleh Pak Rahman Arge melalui kolomnya di Harian Fajar (waktu itu Rahman Arge punya kolom tetap di Harian Fajar dan Harian Pedoman Rakyat). Jadi, tugas Pak Anis setelah selesai membaca makalah pendek itu hanya mencatat pertanyaan-pertanyaan audiens. Tapi di luar dugaan M. Anis Kaba bukan saja sekadar membaca makalah pendek Pak Rahman Arge, tapi ia ternyata bisa memerankan karakter Rahman Arge dengan baik di forum, bahkan dia dapat memberikan komentar-kementar tambahan yang tak ada pada pokok-pokok pikiran Rahman Arge di makalahnya. Itu semua karena M. Anis Kaba pernah juga lebur dan berbaur dengan budaya Massenrempulu ketika beliau bertugas di wilayah tersebut dan beliau mencatat kristalisasinya lewat puisi. Pulang dari kegiatan seminar tersebut Pak Anis membawa kami keliling keling di Wilayah Enrekang, bersilaturrahmi ke rumah Kepala Dolog. Beban mobil pun bertambah berar dengan beberapa karung beras pemberian Kepala Dolog.
Di Bidang sastra M. Anis Kaba termasuk seorang penyair tua yang selalu setia mengikuti perkembangan, walaupun oleh beberapa teman sering berkelakar menyebutnya “penyair Gaptek”. Beliau belum mengenal teknologi informasi canggih, internet, media sosial. Suatu ketika saya menemukan akun facebooknya yang penuh dengan gambar-gambar wanita cantik. Saya terpesona dan bilang pada Muhary melalui WA bahwa Pak Anis sudah main facebook. Muhary jawab bahwa itu ulah cucunya. Pak Anis tetap Pak Anis sejak dulu. Ia hanya mengenal HP non digital alias HP konek-konek. Ia menulis juga tidak dengan komputer atau laptop , tapi dengan mesin ketik tua. Saat diminta karya puisinya misalnya untuk sebuah antologi, panitia harus repot lagi mengetik ulang puisinya dengan komputer. Tapi sebagai seniman ia memang memiliki integritas dan kesetiaan yang tinggi. Semasih tak ada halangan diundang atau tak diundang pun akan tetap datang pada even sastra yang diadakan di Makassar. Beberapa kali ia menelpon saya untuk menyampaikan informasi dan mengajak saya untuk mengikuti even sastra agar saya mengikutinya. Saya tahu ia senang jika beliau bersama saya, karena saya akan setia datang mengantar jemput beliau di rumahnya. Waktu itu saya masih mengendarai motor jadi agak gampang masuk ke lorong yang menuju rumahnya.
Sekali waktu ia menelpon saya agar ikut pada kegiatan Sasatra Kepulauan di Topejawa. Saya tidak tahu di mana Topejawa itu karena baru pertama kali mengenal nama ini. Ternyata sebuah pantai di Takalar. Dari Barru saya naik motor menjemput beliau di Jl. Kelinci No. 6B-6C, kemudia menuju ke Topejawa menabrak hujan gerimis di awal musim hujan itu. Perut mulai perih karena dingin menembus mantel. Sekitar jam sembilan malam kami tiba di lokasi. Kami mencari makan malam tapi tak ada lagi. Dapur umum sudah tutup dan piring-piring sudah telungkup. Sementara di seputar lokasi tak ada penjual nasi. Udhin Palisuri yang malam itu akan orasi mengetahui kondisi kami, langsung memarahi kami. Pulang saja, masa mau tinggal dalam keadaan kelaparan seperti itu.Kalian ini benar-benar seniman kere. Usai orasi dan menerima honor Udhin Palisuri mengajak kami pulang. Ia mengiringi kami dengan mobil Hardtop-nya hingga ke perbatasan kota Makassar. Dan di sebuah restoran ia mentraktir kami makan malam. Saya dan Anis pun makan dengan lahapnya.
ENAM
Sebagai penyair M. Anis Kaba produktif menulis puisi sejak tahun 1960-an hingga masa tuanya. Puisinya yang berjudul “Perahu” dan “Sebuah Berita” ditulis pada tahun 1964 dan termuat pada buku kumpulan puisinya berjudul “Nyanyian Alam” Sajak-Sajak M. Anis Kaba yang diterbitkan oleh Saji Sastra Indonesia tahun 2000. Sebagai penyair alam yang menulis pengalaman-pengalaman hidupnya melalui puisi, M. Anis Kaba memang cendrung mengekspresikan perasaan dan pengamatan terhadap alam. Ia cendrung menciptakan karya yang mencerminkan keindahan alam, fenomena alam, serta hubungan emosional dan spiritual dengan lingkungan sekitar.
SEBUAH BERITA
ada gubuk di desa
penghuninya berurai airmata
hari makin terik
padi-padi tidak berisi
ada nyanyian di kota
di rumah-rumah ada pesta
ketika malam tiba
kucing di kamarterbaring luka
perawan dan petani
menangisi diri sendiri
(Puisi ”Sebuah Berita”,1964)
Pada buku “Apa Siapa Penyair Indonesia” yang diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2018 saya kurator dan kontributor daerah Sulsel mencatat biogfi singkat M. Anis Kaba sebagai berikut: “Putra Gowa yang lahir di Limbung pada 12 April 1942 ini memulai karirnya sebagai seniman dan penyair sejak tahun 1960. Penerima anugrah seni “Celebes Award “ tahun 2003 untuk bidang sastra dari Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan ini juga memperoleh penghargaan dari Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan sebagai “Pelopor Pengembangan Perpustakaan” pada tahun 2011. Kumpulan puisinya yang telah terbit antara lain Nyanyian Alam (2000), Mantra Bumi (2005), Kembara Angin dan Cahaya (2009). Puisi-puisinya yang lain terkumpul dalam beberapa antologi bersama antara lain Ombak Makassar (2000), Pintu yang Bertemu (2003), Menepi ke Sepi Puisi (2007), Rajamilo dan Nyanyian Tiga Pengembara (2007).”
TUJUH
Kini M. Anis Kaba penyair yang selalu mengenakan topi cowboy ke mana saja pergi itu benar-benar telah pergi jauh dan tak akan pernah kembali lagi di antara kita. Tinggal kenangan yang dapat mendekatkan kita pada beliau. Keluarganya di kampung telah menancapkan sebuah batu nisan bertuliskan namanya di atas gundukan tanah kuburan yang masih merah. Dan para sahabatnya kini telah membuat “batu nisan” yang lain –sebuah buku memoar sebagai obituary untuk mengenangnya. Karena batu nisan yang abadi bagi seorang tokoh yang baik sebagai tempat ziarah bagi para sahabat — tiada lain adalah buku memoar seperti buku ini. Semoga tulisan ini dapat menjadi ziarah saya yang abadi!
Barru, Januari 2024
Klik DI SINI untuk kembalike laman ESAI-ESAI BADARUDDIN AMIR