KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SUMBER KREATIVITAS (Sebuah Catatan Awal)

Jika tak ada aral, Insya Allah pada 28 Januari 2024 akan diadakan Pertemuan Penulis Ajattappareng (PPA) 2024. PPA ini -demikian singkatannya- memang baru pertama kali dilaksanakan. Digagas oleh Rumah Belajar Cinta Damai (RBCD) dan disponsori oleh Balai Bahasa Sulawesi Selatan dan beberapa komunitas yang ada di wilayah “Ajattappareng”. Pertemuan penulis ini juga akan menghadirkan penulis hebat yang pernah maupun yang sedang beraktivitas di  Sulsel seperti Andi Makmur Makka, S. Siansari Ecip, Ganjar Harimansyah (Kepala Balai Bahasa Sulsel), Aslan Abidin, Tri Astoto Kodarie, dan RBCD, Asniar Khumas. Tema sentral yang diangkat oleh PPA 2024  yang akan dilaksanakan di Balai Ainun-Habibie, Parepare ini adalah “Kearifan lokal dan kreativitas”.

Secara simplistik sebenarnya, tema ini ingin mengatakan: kearifan lokal (itu) adalah sumber kreativitas. Lalu apakah kearifan lokal dan apa pula kreativitas yang dimaksud itu? Kearifan lokal adalah warisan budaya yang terkandung dalam tradisi, kepercayaan, dan nilai-nilai masyarakat setempat.  Sebuah argumen yang  dapat menjadi rujukan mengenai kearifan lokal dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat dari http://www.djkn.kemenkeu.go.id adalah sebagai berikut:  “Kearifan Lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.” (Abd. Choliq, dalam “Memaknai Kembali Kearifan Lokal Dalam Kehidupan Sehari-hari” ,

Dalam terminologi asing kearifan lokal kadangkala disebut sebagai “local wisdom” atau “local Knowledge” atau “local Genius”, meski  terminologi ini masing-masing memiliki konteks tertentu. Inti dari pada Kearifan Lokal ini adalah “nilai” dan “moralitas”. Ke dua unsur transendental ini harus ada dalam Kearifan Lokal. Jika “nilai” dan “moralitas” tak dapat ditemukan dalam jiwa sebuah ungkapan tradisi, atau dalam kepercayaan yang dianut oleh masyarakat yang menjadi warisan budaya, maka tak dapatlah dikatakan bahwa warisan budaya tersebut sebagai kearifan lokal.

Pada era globalisasi dan modernisasi (yang bermuatan teknologi tentunya) dan mengarah pada perubahan sosial, terjadinya  transformasi total dari kehidupan tradisional ke arah pola-pola kehidupan fragmatis, ekonomis dan politis, seringkali membuat frasa “kearifan lokal” ini terabaikan atau terpinggirkan. Dan arus globalisasi dan moderinisai, yang memang berhembus dari  dunia barat itu, memjadi “budaya asing” bagi masyarakat kita. Maka dalam kerangka pembicaraan “kearifan lokal” di era globalisasi dan modernisasi ini mau tak mau, akhirnya menjadi dikotomis. Memang dialektika yang terjadi tidak lagi “Timur versus Barat” sebagaimana dalam Polemik Kebudayaan yang terjadi hampir seabad lalu, tetapi dialektika yang terjadi sekarang adalah dikotomi antara “Tradisi versus Modern”; “Tradisional versus Modernitas”; “Tradisionalisasi versus Modernisasi”; dan “Tradisionalisme versus Modernisme”. 

Di abad 21 sekarang ini -memasuki  kulminasi kemajuan teknologi,  pengembangan rekayasa teknologi digital dan Artificial Intelligence (AI) telah menguasai ruang-ruang budaya secara lebih leluasa dan mendalam setelah dirancang untuk membuat sistem komputer mampu meniru kemampuan intelektual manusia.  Akibatnya literasi budaya yang berkaitan dengan kearifan lokal pun tampak semakin stagnan.

Namun, sebenarnya, kearifan lokal memiliki potensi besar sebagai sumber kreativitas yang tak ternilai sepanjang manusia sebagai subjek dari kebudayaan mampu memanfaatkan potensi-potensi budaya lokal itu sebagai sumber energi untuk berkarya. Di sini kita akan coba  menjelajahi bagaimana “kearifan lokal” dapat menjadi pendorong kreativitas yang mampu menghasilkan inovasi dan memperkaya dunia seni, budaya, dan teknologi.

Pengembangan Kearifan Lokal

Kearifan lokal mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari seni tradisional, sistem pertanian lokal, hingga kebijakan pemerintah yang bersumber dari nilai-nilai luhur. Seiring  dengan perjalanan waktu, kearifan lokal sesungguhnya terus berkembang dan  beradaptasi  menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Meski demikian “nilai” dan “moralitas” sebagaimana yang disinggung sebagai  jiwa transenden budaya lokal akan mengalami pergeseran atau penyesuaian.  Apa yang dikatakan nilai “kegotong-royongan” dari kebudayaan lokal pada suatu masa misalnya, mungkin akan bertransformasi, mengalami pergeseran makna.  Sikap “gotong royong” sekarang, di masa modernitas akan menjadi sesuatu yang kreatif dan bernilai ekonomi dalam konteks literasi finansial. Jadi, yang terjadi sesungguhnya adalah “transformasi budaya”,  yaitu suatu bentuk perubahan yang secara perlahan akan diterima warga masyarakat hingga menjadi sebuah kebiasaan yang selanjutnya akan melekat dan akan digunakan sebagai kebiasaan secara berulang-ulang dan terus-menerus. Jadi “gotong-royong” sesungguhnya tidak hilang, sebagaimana pendapat banyak orang. Akan tetapi sedang bertransformasi ke tatanan “nilai” lain—yang tentunya tidak lagi tanpa pamrih, tetapi dengan pamrih. Hal itu disebabkan karena di abad modern ini muncul profesi-profesi baru yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi dan budaya yang biasa diapologikan sebagai kemajuan zaman.

Secara detil dapat dijelaskan dengan contoh berikut: dulu jika ada keluarga yang melakukan hajatan pengantin, maka seluruh keluarga dan warga masyarakat setempat akan ikut berpartisipasi melakukan “gotong-royong”, mulai dari ambil kayu bakar di hutan, membantu meminjamkan kursi-kursi, piring-piring dan gelas pada warga, mengantar undangan, hingga membangun “baruga” (bagunan pesta). Tetapi sekarang, setelah kita memasuki abad modern segalanya sudah bertransformasi ke bentuk lain. Tak ada lagi yang membantu mengambil kayu bakar di hutan karena kayu bakar sudah lama tak digunakan sebagai bahan bakar tergantikan oleh gas el-fiji, tak ada lagi yang membantu pinjam piring, gelas dan kursi karena sudah disiapkan sebagai satu paket yang ditangani oleh profesional tertentu. Demikian juga dengan kursi, bangunan pesta, sampai kepada pengantaran  undangan semuanya sudah ditangani oleh profesi-profesi tertentu. Ini baru di satu sektor. Yang terjadi pada  sektor lain seperti sektor pertanian, perkebunan, perdagangan, dan lain-lain juga demikian.  Apapun yang dulu tampak sebagai bentuk kegotong-royongan, saat ini sudah ditangani secara profesionalisme. Kreativitas masyarakat lokal memainkan peran penting dalam memperkaya kearifan ini — kearifan baru dengan nilai-nilai baru, tentunya akan menciptakan tradisi dan menjadi warisan yang berkelanjutan dan relevan.

Kreativitas dalam Seni Lokal

Yang disinggung di atas memang kebudayaan yang berkaitan dengan kehidupan finansial. Atau boleh disebut sebagai Kebudayaan Material. Tetapi kreativitas (dalam seni) itu berkaitan dengan Kebudayaan Immaterial. Kebudayaan Inmaterial tidak langsung berkaitan dengan hajat hidup (kebutuhan primer), melainkan ia berkaitan dengan kebutuhan skunder: seperti seni suara, seni tari, seni lukis, seni drama, dan seni sastra. Seni-seni ini memiliki genre dan subgenre. Seperti sastra yang memiliki beberapa genre: puisi, esai, cerpen, novel, samapai kepada dongeng sebagai bentuk sastra tradisional. Demikian pula Seni musik, seni tari, seni lukis, masing masing memiliki genre dan sub genre. Di lihat dari bentuk dan ungkapan isi, corak serta aliran, jenis-jenis seni ini pun terbagi lagi ke dalam apa yang disebut bentuk seni  tradisional dan seni modern. Nah, pada pemahaman ini kita bisa mengatakan bahwa apa yang disebut sebagai seni tradisional itu muatannya sangat berkaitan dengan  nilai-nilai yang berkearifan lokal. Sementara apa yang disebut dengan seni modern muatannya sangat berkaitan dengan nilai-nilai kemajuan zaman atau modernisasi. Lalu bagaimana mengolah seni tradisional ini hingga dapat menjadi seni modern?

Kreativitas di sini memang dibutuhkan.  Kita harus berhenti membuat pertentangan yang tak berkesudahan. Kita harus membuang dialektika dan mencoba ber “mono-lektik” (apakah sudah ada dalam  kamus?), yaitu berpikir tunggal, menyatukan dua “isme” yang berbeda. Kita harus menyatukan Tradisionalisme dan Modernisme dalam satu pemahaman baru. Jadinya mungkin kita memang harus menjadi penganut pascamodernisme atau yang biasa juga disebut dengan terminologi, posmodernisme atau post-mo, walau memiliki definisi yang berbeda pula dengan apa yang dikemukakan oleh para penganut posmodernisme Barat.

Pascamodernisme atau post-mo, berdasarkan catatan Wikipedia adalah gerakan abad akhir ke-20 dalam seni, arsitektur, dan kritik, yang melanjutkan modernisme. Paham ini adalah interpretasi skeptis terhadap budaya, sastra, seni, filsafat, sejarah, ekonomi, arsitektur, fiksi, dan kritik sastra. Pascamodernisme adalah paham yang berkembang setelah era modern dengan modernismenya. Pascamodernisme bukanlah paham tunggal atau sebuah teori, tetapi justru memayungi berbagai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal.

Karena paham ini lagi-lagi datang dari Barat maka banyak pemikir atau tokoh dari Barat yang memberikan arti pascamodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme. Namun kelanjutan yang dimaksud itu menjadi sangat beragam. Hal ini tercermin juga dari definisi-definisi yang disampaikan oleh beberapa tokoh Pascamodernisme seperti Bagi Lyotard dan Geldner. Kedua tokoh ini mendefinisikaan pascamodernisme sebagai pemutusan secara total dari modernisme. Tapi bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, pascamodernisme adalah bentuk radikal dari kemodernan, dan bagi David Graffin, pascamodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari modernisme. Berbeda lagi dengan Giddens, yang mengartikan pascamodernisme adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak, yang kontroversial pula dengan pengertian dari Habermas yang menyebutkan pascamodernisme merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai.

Jika dicermati lebih fundamen pengertian-pengertian dari apa yang disebut sebagai posmodernisme atau pascamodernisme itu berdasarkan definisi-definisi  Barat, maka benar bahwapostmodernisme atau pascamodernisme adalah bentuk skeptis untuk menolak paham modernisme. Karena modernisme di Timur sesungguhnya bukanlah kelanjutan dari tradisionalisme (sebagai karakter kebudayaan Timur) maka orang-orang Barat tidak sampai mendefinisikan posmodernisme sebagai bentuk skeptis dari tradisionalisme, yang di dunia Barat memang kurang dipahami. Tetapi di abad modern ini  kita harus menambah pemahaman tentang posmodernisme sebagai paham yang menyempurnakan tradisionalisme maupun modernisme.

Tarian, musik, dan karya seni lainnya mencerminkan identitas budaya suatu daerah. Melalui sentuhan kreativitas, seniman lokal dapat menggabungkan elemen tradisional dengan inovasi kontemporer, untuk menghasilkan karya seni yang unik dan menarik bagi penonton global. Nah, itulah pengertian posmodernisme dalam bentuk baru berdasarkan definisi ketumuran.  Kearifan lokal menjadi sumber inspirasi yang tak terbatas, mendorong seniman untuk mengeksplorasi dan menyampaikan pesan-pesan baru melalui medium seni. Mendongeng harus menjadi seni posmodern yang tidak lagi hanya membawa pesan Pedagogik tapi juga Androgogik. (Dalam esai lain saya menulis hal ini dengan judul “Tersesat di Dunia Dongeng”, juga dapat rujukan pada tulisan saya yang lain  “Literasi Digital, Literasi Dunia Dan Local Wisdom”, tentu dengan persoalan yang berbeda.)

Selain seni, kearifan lokal juga dapat menjadi dasar untuk inovasi teknologi. Pengetahuan tradisional dalam pengobatan herbal, pertanian organik, dan teknik pengolahan makanan dapat menginspirasi pengembangan solusi modern yang berkelanjutan. Dengan memadukan kearifan lokal dengan teknologi canggih, masyarakat dapat menciptakan solusi yang sesuai dengan kondisi lokal, menjadikan inovasi tersebut lebih relevan dan efektif.

Meskipun kearifan lokal sesungguhnya memiliki potensi besar sebagai sumber kreativitas untuk menciptakan seni-seni moden namun nilai-nilai dan moralitasnya tetap harus dipertahankan. Karena tanpa “nilai” dan “moralitas” maka seni itu akan liar dan benar-benar menjadi  “posmodern” dalam pengertian Barat. Lepas dari tradisi. Oleh karena itu untuk tetap mempertahankan acuan maka perlu ada  pemeliharaan dan pelestariannya seni-seni  budaya tradisional tanpa mencampur-baurkan pengertian. Modernisasi dan globalisasi memang dapat saja menjadi  ancaman hilangnya identitas lokal jika tak hati-hati menyiasatinya. Oleh karena itu kita harus bijak memperlakukan seni-seni tradisional berdasarkan proporsi dan kedudukannya agar tetap hidup dan dapat terus menginspirasi lahirnya kreativitas seni-seni modern atau pascamodern.

Kearifan lokal bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga sumber kreativitas yang tak terbatas. Dalam menghadapi tantangan globalisasi, menjaga dan mengembangkan kearifan lokal menjadi kunci untuk menciptakan dunia yang kaya akan inovasi dan beragam dalam segala aspek kehidupan. Kita perlu mengakui bahwa kearifan lokal bukanlah hambatan yang harus ditolak dengan tingkah laku skeptis, melainkan peluang bagi kita semua untukmenciptakan kreasi baru  yang bersumber dari akar budaya kita sendiri. Oleh karena itu memang perlu diurun-rembuk agar kearifan lokal tetap berjaya dan menjadi sumber kreativitas terutama bagi penulis-penulis muda sekarang ini.

Barru, Januari 2024

Klik DI SINI untuk kembali ke laman ESAI-ESAI BADARUDDIN AMIR

Tinggalkan komentar