Perempuan Malam dan Seekor Nyamuk

Cerpen Fachruddin Palapa

SEPERTI biasa, cahaya lampu listrik yang gemerlapan dan setia menyinari kota itu masih tetap bersinar terang seperti malam-malam sebelumnya. meskipun akhir-akhir ini kadang lampu listrik padam tanpa alasan yang jelas. Orang-orang masih dalam keadaan terlelap di tempat tidurnya masing-masing. Mungkin di antara mereka ada yang sudah bermimpi indah tentang kehidupan esok yang kian kompleks. Ataukah sekadar menunggu rezeki yang bisa menurunkan nilai tukar rupiah terhadap dollar yang kian anjlok, atau menanti saat-saat indah turunnya harga sembako seperti menikmati Iengsernya sang diktator dari kursi kepemimpinan yang telah dikuasainya selama tiga puluh dua tahun.

Yang tampak sibuk hanya beberapa penjual roti tawar yang sedang lalu-lalang di lorong kecil dan sedikit berbatu itu sembari membunyikan terompetnya agak keras. Seakan-akan membangunkan penduduk yang masih terlelap tidur dengan mimpi-mimpi yang indah.

Dari ujung lorong, kelihatan Esty berjalan tertatih-tatih. Tidak ubahnya dengan seorang pemabuk yang sedang lupa diri. Sepertinya ia habis minum anggur atau segelas bir atau apa saja yang memabukkan di bar-bar dan kelab malam. Ataukah hanya karena kurang tidur. ataukah memang karena tingkah lakunya yang sengaja dibuat-buat. Entahlah. Yang jelas ia berjalan tertatih-tatih seperti orang teler.

Memang lagak dan tingkah seperti itu bukan sesuatu yang asing bagi Esty. Pekerjaan itu bukan pekerjaan yang pertama kali dilakukannya. Hampir tiap hari, ia selalu pulang larut malam dan berjalan tertatih-latih.

Kepada tetangganya ia pernah bilang bahwa ia bekerja pada sebuah perusahaan swasta di kota itu hanya memenuhi biaya kuliahnya. Lalu ia memilih kerja malam karena pada siang hari, ia harus menekuni rutinitas kesehariannya sebagai mahasiswa semester terakhir di sebuah Universitas Kenamaan di kota itu.

Rumah yang ia tinggalkan semalam lampunya masih menyala dengan sangat terang. Jendelanya terbuka. Ia sengaja melakukannya agar setiap orang yang lewat di depan rumahnya mengira perempuan cantik itu masih di dalam rumahnya.

“Lihat perempuan itu, ia masih mencangkung di depan jendelannya. menghadap langit, menikmati bintang-bintang yang gemerlapan hari.” Ungkapan seperti inilah yang selalu didambakan Esty jika ia keluar rumah setiap malam. la lalu menyalakan lampunya di empat penjuru mata angin tanpa rasa takut, malu, apalagi bersalah. Atau memang karena rasa malunya hampir tiada.

la pulang dini hari sehabis hujan gerimis yang membasahi lorong kecil tak beraspal itu. Dengan rok berwarna hitam di atas lutut –ukuran biasa bagi wanita modern– dan kemeja putih sembari menenteng sebuah payung merah. Seperti layaknya karyawan perusahaan, ia berjalan dengan penuh keyakinan dan kepercayaan diri. Menapaki lorong demi lorong kota peraih piagam Adipura itu tanpa rasa takut sedikit pun. la tidak peduli dengan bau selokan yang menyayat hidungnya.

Sebenarnya ia ingin naik becak atau taksi atau apa saja kembali ke rumahnya. tetapi setelah lama menunggu, tak satu pun becak atau taksi yang lewat di di sekitar tempat ia berdiri. Lalu, ia mengambil keputusan untuk jalan kaki. meski jarak kantor dan rumahnya cukup jauh. Hlujan dini harilah yang membuat jalan menjadi becek, sehingga Daeng becak dan sopir taksi belum berani keluar.

Tak lama kemudian. Esty sampai di depan rumahnya. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Tampaknya ia sedang dalam keadaan bingung.

“Apakah ini rumahku,” tanyanya dalam hati.

“Atau mungkin aku mabuk!”

Lama ia berdialog dan tanya jawab dengan dirinya sendiri, tetapi ia tidak sadari.

“Rumahku”.

“Atau bukan.”

“Rumahku”

“Bukan”

“Rumahku.”

“Bukan.”

Begitu terus berulang sampai akhirnya ia sadar bahwa yang ada di depannya adalah sebuah rumah kontrakan yang disewanya dari Daeng Ngewa sejak tiga tahun silam.

Sejurus kemudian ia kaget.

“Astaga!”

Ternyata ia lupa bawa kuncinya. Mungkin ketinggalan di kantornya. Tanpa berpikir panjang, Esty lalu menendang pintu rumahnya dengan kaki. Lagi-lagi tanpa rasa takut dan malu-malu. Berulang kali ia menendangnya baru pintu itu bisa terbuka.

la lalu melirik jam dinding yang tergantung di sudut mangan sempit berukuran empat kali lima meter itu, Waktu telah menunjukkan pukul 05.00. “Masih ada kesempatan tidur sebelum masuk kampus,” gumamnya. Karena rasa kantuknya sudah tidak tertahankan, ia pun langsung melompat naik keranjang tempat tidurnya. La menanggalkan semua pakaian yang dikenakannya. Baju. rok. celana dalam dari stokinnya, Ia tertidur pulas dalam keadaan telanjang.

Sejurus kemudian matanya sudah terlelap. Nyamuk-nyamuk mulai menggerogotinya Mengisap darahnya. Ada yang mengisap bagian dadanya, bagian mulutnya, ketiaknya, bahkan ada nyamuk yang nekat tanpa rasa takut dan ngeri juga sengaja mengisap di bagian kelangkangannya.

Esty sama sekali tidak merasakan apa-apa. la hanya tidur sepulas-pulasnya. Tak peduli kalau ada nyamuk yang tengah menggerogotinya. Ataukah mungkin ia memang memberi kebebasan kepada nyamuk untuk menikmatinya seperti ketika ia menghidangkan tubuhnya di ranjang-ranjang hotel atau di lorong-lorong sempit bersama lelaki- lelaki bayarannya. Anehnya, ia sengaja tidak membakar baygon atau menyemprot kamamya dengan obat anti nyamuk seperti yang sering ia lakukan setiap malam sebelum tidur.

“Silakan, nyamukl”

“Silakan,” katanya kepada nyamuk yang tak bosan-bosannya mengisap darah. Darah Esty masih segar, apalagi bagian kelangkangnya merangsang birahi para nyamuk. Pahanya yang begitu mulus dan putih membuat sang nyamuk lupa diri. Apalagi dalam keadaan lapar setengah mati. Saking Iaparnya. nyamuk-nyamuk itu sampai menggigit bulu-bulu yang ada dikeliak dan dekat kemaluan Esty. Lagi-lagi Esty tidak merasakan apa-apa.

***

Lonceng  sekolah yang tak jauh dari rumahnya berbunyi  sudah. Anak-anak sekolah bergegas menuju sekolahnya masing-masing. Tak ada lagi yang tinggal di rumahnya. Sementara Esty masih saja berbaring di tempat tidumya. Padahal pagi ini ia akan mengikuti ujian final mata kuliah Sosiolinguistik. Satu-satunya mata kuliah yang belum ia lulusi. Padahal Esty telah memprogramnya sampai tiga kali. Andai saja mata kuliah ini telah dilulusinya, maka setahun lalu, ia sudah tampil di atas mimbar wisuda mengenakan toga hitam pakaian kebesaran para sarjana.

Tahun ini adalah tahun terakhir bagi Esty untuk menjadi ,mahasiswa di perguruan tinggi itu. la telah berhasil  mengumpulkan enam belas KRS. Kalau saja ia masih belum lulus dalam ujiannya nanti, maka pasti ia akan mendapat surat dari rektor tentang pemberhentian kuliah. Drop Out pasti.

Tadi subuh temannya datang membangunkannya tetapi Esty masih juga tidur. Malah temannya kaget melihat Esty tidur dalam keadaan telanjang tanpa baju ataupun sesobek celana. la hanya menutup tubuh Esty dengan sehelai handuk yang terletak tak jauh dari tempat tidur Esty.

Esty baru terbangun setelah temannya keluar dari kamar itu. la menoleh ke sudut mangan tempat jam dinding itu tergantung. “Sudah pukul sepuluh?” gumamnya kaget.

“Astaga!”

“Saya sudah terlambat,” kesalnya.

Maka sekejap ia langsung kekamar mandi. La mengurai rambutnya satu persatu. Lagi-lagi tanpa rasa takut dan bersalah. Dibasahinya berulang. Perlahan ia menyisirnya. Begitu terus yang dilakukan Esty di kamar mandi.Ternyata ia keramas. Padahal, kemarin sore, Esty sudah melakukan kegiatan serupa.

la memandangi tubuhnya di depan cermin yang mulai retak dan agak tua. Esty melihat tubuhnya penuh bintik-bintuk membekas gigitan nyamuk. Tiba-tiba ia menemukan seekor nyamuk yang bersembunyi di balik helai rambutnya. Lalu ia membuangnya dan jatuh ke lantai.

”Tadi malam, banyak pria yang ingin   mencippokku. Tetapi aku sikut saja dan lelaki itu lari tunggang-langgang,” katanya di depan cermin sembari menyisir rambutnya yang masih tampak basah. la mulai mengenakan pakaiannya. Lalu menyantap makanan yang  entah sudah berapa hari terhidang di meja makan seperti orang kelaparan.

Tak lama kemudian, ia meninggalkan rumahnya dalam keadaan kosong. Entah ke mana ia akan pergi. Kalau ke kampus pasti ia bawa diktat. Pun kalau ke kantor  ia tak pernah lupa bawa tas. Apalagi  ke pasar. Keranjangnya pasti tak ketinggalan. Entah ke mana Esty akan pergi. “Ke mana saja.” ketusnya. Mungkin ia akan mencari dirinya yang selama ini hilang entah ke mana. Kasihan!

Buat Saudaraku Abdul Azis Karim

Sumber: Harian FAJAR, tanggal pemuatan tak terlacak.

Tinggalkan komentar