Potret Tanpa Bingkai

 

Sumber: www-jddc-online-com

Cerpen Tri Astoto Kodarie

 

Awan hitam menggantung di langit. Angin bertiup cukup kencang, pohon-pohon jati bergoyang-goyang, hujan nampaknya sudah tak sabaran lagi akan segera turun. Anwar yang sudah bersiap-siap akan pulang, sesaat jadi ragu-ragu. Ia juga merasa tidak membawa jas hujan. Tapi bukankah bulan ini masih masuk musim kemarau? Sehingga ia tidak menyangka kalau tiba-tiba saja akan turun hujan. Sebab hari-hari terakhir udara kota ini panasnya sangat menyengat. Di luar dan di dalam rumah sama saja, panas, katanya dalam hati sambil mengeluarkan motor bebeknya yang masih terhitung baru.

Sebenarnya dalam hati Anwar merasa jengkel juga. Sebab hari ini kantornya pulang agak awal. Semua karyawan, termasuk dirinya merasa senang karena dapat pulang lebih awal. Hanya saja nampaknya hujan turun terasa sebagai penghalang. Sementara rintik-rintik gerimis mulai menyapa bumi, ia jadi tergesa-gesa untuk pulang.

Setelah membunyikan motornya, ia langsung meluncur ke jalan raya. Seorang temannya yang memanggil setengah berteriak karena ingin membonceng, tidak dihiraukannya. Kendaraannya pun semakin melaju dengan kencang. Menyalip kesana kemari di antara kendaraan lain yang nampaknya juga melaju cepat tergesa-gesa. Anwar ingin segera sampai di rumah sebelum hujan benar-benar turun. Tetapi ketika sampai setengah perjalanan, gerimis semakin deras turun.

Gas kendaraan semakin ditekan untuk menambah laju kendaraan. Gerimis telah berubah menjadi hujan yang deras dan Anwar memacu kendaraannya semakin kencang dan seakan melayang di atas aspal jalanan. Padahal pandanganya agak kabur karena kaca helmnya memburam diterpa air hujan.

Ketika sampai di persimpangan jalan yang menuju ke rumahnya, tiba-tiba ada seorang wanita muda yang melintas, menyeberang jalan dengan cepat. Anwar yang pandangannya ke depan agak kabur, hanya samar-samar saja melihat orang melintas di depannya. Namun ia terlambat untuk merem laju kendaraannya. Dan tanpa ampun lagu, wanita yang sedang menyeberang itu ditabraknya. Anwar terjatuh, sedangkan wanita itu terlempar sampai di sisi trotoar dan tergeletak. Nampak ada darah mengalir bersama air hujan yang menggenang.

Masih dengan yang tertutup, Anwar segera bangkit mendirikan kendaraan sambil berusaha membunyikan mesinnya. Lalu secepat kilat melaju dengan kencang meninggalkan tempat kejadian itu. Orang-orang yang melihat kejadian itu berusaha mengejarnya, tapi motor Anwar melaju lebih cepat.

Anwar berpikir bila tertangkap, bisa saja dipukuli warga di sekitar itu dan juga urusannya semakin rumit dan panjang. Apalagi bila wanita itu meninggal dunia, wahhh…, pasti urusannya sampai di sel tahanan polisi untuk mempertanggungjawabkannya. Tepat, kalau aku melarikan diri saja, kata Anwar dalam hatinya.

Tetapi di sisi lain ada pemberontak di dalam hatinya dan mengutuknya sebagai lelaki pengecut. “Seharusnya kau tidak tinggalkan tempat kejadian itu, Anwar”, begitu suara dari dalam hatinya. “Seharusnya kau justru memberikan pertolongan, seharusnya kau merasa kasihan pada wanita muda yang telah kau tabrak tadi, seharusnya kau berusaha untuk segera membawanya ke rumah sakit agar jiwanya cepat tertolong dan terselamatkan”, begitu gemuruh suara di dalam hatinya. Seperti gemuruh suara hujan yang ditingkahi hembusan angin kencang.

Baju dan badan Anwar basah kuyup. Udara yang lembab menggigilkan tubuhnya yang dinginnya menembus tulangnya. Aneh, di dadanya tetap bergemuruh suara-suara yang mengejar dan menyalahkannya. “Kau pengecut, War”, suara hatinya kembali meletup-letup. “Kau telah jadi seorang penabrak lari yang kejam dan tidak berperikemanusiaan”. Anwar berusaha melawan kata hatinya. “Tidak! Aku pun harus selamat. Jika aku lama berada di situ dan berusaha menolongnya, pasti aku dikeroyok orang-orang itu, ditangkap polisi, diajukan ke pengadilan dan dihukum. Tidak! Aku juga harus selamat”, katanya setengah menjerit. Tapi gemuruh hujan dan sesekali suara petir menenggelamkan suaranya.

Setelah lelah melarikan kendaraannya dengan kecepatan tinggi, ia memperlambat lajunya. Saat ia menoleh ke belakang, suasana lalu lintas sudah sepi. Ia merasakan sudah tidak ada lagi yang membuntutinya. Waktu tadi lari dari tempat kejadian, ia sudah berusaha mengelabuhi para pengejarnya dengan melewati lorong-lorong kecil, sehingga para pengejarnya pasti akan kehilangan jejak.

Pikiran Anwar semakin bingung, meski pun ia sudah sekuat tenaga melupakan kejadian tadi. Bukankah sudah tidak ada yang mengejarnya ? Nomor kendaraan pun juga terlindung oleh kotoran karena jalanan yang berlumpur. Paling tidak itulah perkiraan Anwar. Dirinya sudah merasa aman, meskipun rasa was-was masih terus bergelayut di hatinya.

Sesaat kemudian hujan mulai reda. Cuaca sedikit cerah. Angin semilir yang bertiup terasa menyegarkan, debu-debu yang biasanya berterbangan luluh ke bumi menyatu dengan air hujan yang mulai menggenang di mana-mana.

Anwar pun membelokan kendaraannya dan melaju menuju arah rumahnya. Namun ketika sampai di depan rumahnya, ia terkejut karena di teras rumahnya sudah dipenuhi orang. Hatinya terkesiap, mukanya semakin memucat. Pasti tingkah lakunya sebagai penabrak lari sudah diketahui polisi dan orang-orang di tempat kejadian tadi, katanya dalam hati. Tetapi mau berbalik, ia tidak berani karena para tetangga sudah melihatnya. Akhirnya ia pasrah saja dan memarkir kendaraannya di bawah pohon mangga di pelataran rumahnya. Ibunya yang mengetahui kedatangannya, langsung berlari ke arahnya dan menubruk serta merangkulnya. Sementara di teras rumahnya nampak beberapa polisi lalu lintas. Anwar jadi tak berdaya, terasa sendi-sendinya seperti luluh.

“Dari mana saja kau, nak?” Tanya ibunya sambil menangis di bahunya. “Ada kejadian di keluarga kita”, lanjut ibunya menarik lengan Anwar untuk masuk ke rumah.

“Saya sudah tahu, bu. Saya memang akan menyerahkan diri”, ucap Anwar terbata-bata.

“Apa maksudmu?” Tanya ibunya heran. Untuk sesaat Anwar tertegun. Bukankah orang-orang di rumahnya sudah tahu jika ia telah menabrak seseorang? Bukankah para polisi dan tetangganya akan menangkapnya. Tetapi kenapa ibunya seperti heran. Ia jadi bingung.

“Kau seperti orang bingung, nak. Baiklah, ibu akan sampaikan kejadian yang menimpa keluarga kita”.

“Tidak. Tak usah dilanjutkan, bu. Aku akan menyerahkan diri. Aku memang bersalah”, sahut Anwar cepat.

“Nak, apa maksudmu? Ibu jadi tak mengerti”, kata ibunya masih sesenggukan.

“Lalu maksud ibu?”

“Tentang adikmu”.

Anwar tertegun memandangi wajah ibunya. Sementara ibunya berusaha menguatkan gejolak perasaannya. Tetapi kekuatan dan ketabahan sebagai ibu, akhirnya ia menyampaikan dengan kalimat putus-putus kepada anaknya itu.

“Begini, nak. Adikmu si Jamilah….”.

“Jamilah kenapa, bu?” Potong Anwar.

“Dia meninggal, nak. Dia jadi korban tabrak lari”.

“Tabrak lari? Dimana, bu?” Tangan Anwar menggoyang-goyangkan bahu ibunya.

“Di persimpangan jalan dekat lapangan itu. Penabraknya seorang pemuda seusiamu, nak. Penabraknya tidak menolong adikmu, tapi lari dengan motornya entah kemana waktu hujan tadi”.

Setelah mengatakan semua kejadian itu, ibunya menangis histeris dan tak lama kemudian pingsan. Anwar masih berdiri tegak bagai batu karang. Orang-orang justru segera memapah ibunya dan membawanya ke dalam rumah.

Tubuh Anwar terasa menggigil dasyat. Di dalam dadanya gemuruh gelombang menghantam karang-karang hatinya secara bertubi-tubi. Batinnya terguncang. “Seandainya penabrak itu mau menolong, mungkin jiwa adikmu bisa diselamatkan”. Sederet kalimat itu mendengung terus menerus di telinganya.

Seluruh persendian tulang-tulangnya seperti tak berfungsi lagi. Mulutnya terasa kaku. Penyesalan yang datang sepertinya hambar tak ada lagi artinya. Air matanya meleleh di pipinya. Adikku, Jamilah, ucapnya berulang-ulang.

Ah, seandainya waktu dapat diputar kembali dan perjalanan hidup dapat diubah-ubah sekehendak hati.

 

Parepare, 1995.

 

Sumber:  http://triastoto.wordpress.com/cerpen/

 

Satu Tanggapan to “Potret Tanpa Bingkai”

  1. menyedihkan,,,,

Tinggalkan Balasan ke Anonim Batalkan balasan